KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sederet konglomerat merajai penguasaan kapitalisasi pasar (
market caps) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Posisi ini tercapai usai harga saham melonjak signifikan, yang berarti panen cuan untuk sang taipan pemilik emiten. Konglomerat yang paling membetot perhatian publik dalam setahun terakhir tentu Prajogo Pangestu. Harga saham emiten yang dimilikinya kompak terbang, sehingga mengangkat Prajogo menjadi manusia terkaya di Indonesia, dan menduduki peringkat ke-25 orang paling tajir di dunia versi Forbes. Saham Prajogo yang paling fenomenal tak lain adalah PT Barito Renewables Energy Tbk (
BREN), yang kini menjadi emiten dengan
market caps tertinggi di BEI, senilai Rp 1.264 triliun. Saudara BREN, PT Chandra Asri Pacific Tbk (
TPIA) tak kalah mentereng dengan memiliki
market caps Rp 822 triliun, ranking keempat tertinggi.
Seperti diketahui, BREN dan TPIA merupakan anak usaha dari PT Barito Pacific Tbk (
BRPT), emiten yang 71,20% sahamnya dikuasai oleh Prajogo Pangestu. Tak hanya dari Grup Barito, Prajogo juga mendulang cuan dari PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) dengan kepemilikan 85,07%.
Baca Juga: IHSG Belum Aman ke Jalur All Time High, Ini Strategi & Rekomendasi Saham dari Analis Emiten yang sedang saling salip dengan BREN ada PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA) yang kini menduduki posisi kedua market caps paling jumbo, senilai Rp 1.230 triliun. Bank swasta terbesar di Indonesia ini dimiliki oleh Michael Hartono dan Budi Hartono alias Grup Djarum. Tak hanya lewat BBCA, sayap bisnis Grup Djarum juga membentang di sektor menara telekomunikasi, teknologi hingga ritel. Di antaranya melalui PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) dan PT Supra Boga Lestari Tbk (
RANC). Selanjutnya, ada PT Amman Mineral Internasional Tbk (
AMMN) yang menyodok ke peringkat ketiga emiten dengan
market caps terbesar di BEI, senilai Rp 848 triliun. AMMN menjadi bagian dari gurita bisnis Grup Salim, milik taipan Anthoni Salim. Salim juga tak bisa dilepaskan dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk (
INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (
ICBP). Beberapa tentakel bisnis Grup Salim lainnya adalah PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (
DNET), PT Indomobil Suskes Internasional Tbk (
IMAS), PT Salim Ivomas Pratama Tbk (
SIMP), PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (
EMTK) dan PT Bumi Resources Tbk (
BUMI). Berikutnya ada PT Bayan Resources Tbk (
BYAN) milik Low Tuck Kwong, yang sempat menjadi orang terkaya di Indonesia. Selain menguasai emiten batubara tersebut, Low juga memiliki 14,18% saham di PT Samindo Resources Tbk (
MYOH). Selanjutnya, ada Keluarga Widjaja pemilik Grup Sinar Mas, yang menguasai PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (
DSSA). Saham dengan harga termahal di BEI itu kini merangsek ke peringkat sembilan
market caps terbesar. Sinar Mas merupakan konglomerasi jumbo yang memiliki perusahaan di banyak sektor. Di antaranya adalah PT Bumi Serpong Damai Tbk (
BSDE), PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (
TKIM), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (
INKP), PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (
SMAR), PT Golden Energy Mines Tbk (
GEMS) dan PT Smartfren Telecom Tbk (
FREN). Tentu saja, masih banyak konglomerat yang punya kepemilikan langsung secara signifikan pada sejumlah emiten di BEI. Sekadar menyebut contoh, bisa menengok Garibaldi "Boy" Thohir dan Hermanto Tanoko.
Baca Juga: Dana Kelolaan Industri Reksadana Bertumbuh di Bulan Juni 2024 Sayap bisnis Boy Thohir mengepak di PT Adaro Energy Indonesia Tbk (
ADRO), PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (
ADMR), PT Essa Industries Indonesia Tbk (
ESSA), PT Merdeka Copper Gold Tbk (
MDKA), PT Merdeka Battery Materials Tbk (
MBMA) hingga PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk (
TRIM). Sementara Hermanto Tanoko menguatkan tentakel bisnisnya melalui Tancorp Group. Beberapa emiten yang dimiliki oleh Crazy Rich Surabaya ini adalah PT Avia Avian Tbk (
AVIA), PT Sariguna Primatirta Tbk (
CLEO), PT Caturkarda Depo Bangunan Tbk (DEPO), dan PT Penta Valent Tbk (
PEVE). Founder & CEO Finvesol Consulting Fendi Susiyanto mengamati kepemilikan konglomerat pada suatu emiten bisa menambah daya tarik yang mengangkat prospek sahamnya. Apalagi jika sang konglomerat punya reputasi dan rekam jejak yang apik, serta menguasai jejaring grup bisnis besar. "Investor berekspektasi emiten akan memperoleh dukungan finansial, sinergi bisnis dari jaringan yang dimiliki konglomerat itu. Di sisi lain kalau terjadi apa-apa dengan emiten, maka ada harapan konglomerat tersebut bisa memberi support," terang Fendi kepada Kontan.co.id, Minggu (14/7). Founder Stocknow.id Hendra Wardana punya pandangan serupa, dimana pemilik emiten seringkali menjadi daya tarik signifikan bagi investor. Di samping melihat reputasi dan kredibilitas taipan, Hendra mengingatkan agar investor mesti mempertimbangkan fundamental keuangan, kinerja operasional, prospek bisnis dan rencana ekspansi emitennya. Hendra menyoroti empat konglomerat dengan portofolio emiten yang menonjol. Pertama, Prajogo Pangestu dengan BRPT, TPIA, BREN dan CUAN. Selain lonjakan harga saham yang signifikan, Hendra melihat Grup Barito dan CUAN punya prospek kinerja menarik. Hendra menilai diversifikasi Grup Barito ke segmen bisnis energi terbarukan memberikan daya tarik tambahan. Kedua, dari Grup Salim, di samping performa apik AMMN, ada INDF dan ICBP yang punya fundamental kuat. Ketiga, Grup Djarum dengan stabilitas kinerja yang mantap dari BBCA sebagai salah satu saham bluechip. Keempat, Boy Thohir punya portofolio yang mentereng, terutama dari fundamental solid ADRO. "Emiten yang menjadi tulang punggung grup konglomerasi dan memiliki diversifikasi portofolio biasanya lebih menarik bagi investor karena mengurangi risiko bisnis," kata Hendra.
Baca Juga: Diprediksi Menguat, Intip Proyeksi Rupiah untuk Senin (15/7) Fendi mengamini, portofolio bisnis yang terdiversifikasi menjadi kunci untuk membatasi risiko, sekaligus bisa meningkatkan ekspektasi
return. Fendi turut mengingatkan, pelaku pasar tetap mesti menyaring saham milik konglomerat dari sisi fundamental serta tingkat valuasinya. "Kalau sudah
overvalued, meski naik, tapi itu berisiko bagi investor. Kemudian
back to fundamental.
Nggak bisa hanya melihat harga saham naik tinggi, tapi juga harus didukung kinerja keuangan yang bagus," jelas Fendi.
Sementara itu, Pengamat & Praktisi Pasar Modal Agus Pramono memandang emiten milik konglomerat di sektor konsumsi primer dan batubara masih bisa menjadi pilihan menarik. Namun, perlu diingat pada akhirnya performa saham akan dipengaruhi oleh faktor fundamental emiten dibandingkan pada pemiliknya. Agus kemudian menyoroti bahwa emiten yang dimiliki konglomerat akan lebih menjadi sorotan pelaku pasar, termasuk dalam aspek pemenuhan
Good Corporate Governance (GCG). Catatan Agus, tidak semua emiten milik konglomerat memenuhi GCG yang bagus. "Persepsi GCG dari pemilik akan memengaruhi pergerakan harga dari emiten tersebut," tandas Agus. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .