Catat! Ini Rekomendasi Saham Emiten yang Berpotensi Cetak Pendapatan Tertinggi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Analis menaksir ada banyak emiten yang punya kocek super tebal dalam laporan keuangan tahun buku 2022. Sejumlah emiten digadang-gadang mampu mencetak rekor pendapatan tertinggi. 

Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas melihat dua faktor utama yang memoles cemerlangnya kinerja emiten pada tahun lalu. Pertama, pemulihan aktivitas ekonomi setelah dua tahun meredup akibat pandemi covid-19 pada 2020-2021. 

Kedua, booming komoditas energi yang mendongkrak harga dan permintaan. Apalagi didorong oleh sentimen krisis energi akibat perang Rusia - Ukraina. Di luar emiten bank, Sukarno menyoroti tiga sektor yang punya potensi mencetak rekor pendapatan tertinggi di tahun buku 2022.


Rekor itu setidaknya dihitung sejak emiten tersebut tercatat Bursa Efek Indonesia (BEI). Jagoan utama Sukarno ada di jajaran emiten batubara. Mereka antara lain PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Harum Energy Tbk (HRUM).

Kemudian, emiten terkait minyak dan gas, yakni PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) dan PT AKR Corporindo Tbk (AKRA). Berikutnya, emiten di industri logistik pelayaran, yaitu PT Samudera Indonesia Tbk (SMDR) dan PT Temas Tbk (TMAS).

CEO Edvisor.id Praska Putrantyo menaksir ada 14 emiten non-bank yang sanggup memecahkan rekor pendapatan tertinggi dalam periode 5 tahun - 10 tahun terakhir. Estimasi ini hasil dari kalkulasi berdasarkan kinerja keuangan emiten per kuartal ketiga 2022.

Baca Juga: Ada Penghuni Baru di Indeks High Dividend 20, Emiten Perbankan dan Ritel Bisa Dilirik

Praska membaginya ke dalam dua golongan. Emiten yang punya pendapatan di atas Rp 100 triliun ada PT Astra International Tbk (ASII), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT United Tractors Tbk (UNTR), ADRO, PT H.M Sampoerna Tbk (HMSP), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).

Selanjutnya, emiten dengan potensi pendapatan pada rentang Rp 50 triliun - Rp 100 triliun. Yaitu PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR), PT Bayan Resources Tbk (BYAN), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), dan ITMG.

Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro menambahkan, ada empat sektor yang berpeluang mencatatkan rekor pendapatan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Proyeksi ini di luar emiten dengan potensi revenue di atas Rp 100 triliun, dan merupakan emiten non-bank.

Meliputi sektor barang konsumen primer yakni AMRT, ICBP, dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA). Lalu, sektor energi (INDY dan BYAN), sektor barang baku yaitu PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan INKP, serta sektor barang konsumen non-primer yakni PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA).

Prospek Kinerja di 2023

Pendapatan jumbo yang memecahkan rekor perolehan tertinggi memang bakal menjadi daya tarik bagi investor. Tapi, investor akan lebih mencermati sejauh mana emiten bisa mengonversi pendapatan menjadi laba bersih.

"Realisasi laba bersih akan menjadi daya tarik utama investor karena indikasi suatu emiten profitable atau tidak. Apalagi bagi investor yang memilih saham dengan berdividen tinggi," terang Nico kepada Kontan.co.id, Senin (30/1).

Konversi lonjakan top line menjadi pertumbuhan bottom line ditentukan oleh beberapa faktor. Terutama dari seberapa besar beban operasional dan non-operasional yang ditanggung perusahaan. 

Dalam hal ini, Nico melihat sektor energi terbilang stabil dalam mengonversi kenaikan pendapatan menjadi laba bersih. Misalnya pada emiten batubara, ADRO, INDY dan BYAN yang ditaksir akan meraih pertumbuhan laba bersih secara optimal pada laporan keuangan 2022.

Praska punya pandangan serupa. Emiten dengan biaya operasional tinggi akan memangkas margin laba dari pendapatan, sehingga lonjakan top line tidak sejalan dengan bottom line. Contoh lain dapat merujuk pada INDF dan ICBP yang margin labanya tergerus kenaikan biaya bahan baku.

Meski emiten energi relatif konsisten dalam mentransfer pertumbuhan top line ke bottom line, tapi sektor ini punya kelemahan. Nico mengingatkan, pada tahun ini sektor energi akan dibayangi tren volatilitas harga komoditas.

Kondisi ini berpotensi mengganggu stabilitas pendapatan dari beberapa perusahaan yang mayoritas bergantung pada penjualan dan masih minim diversifikasi lini usaha. Sukarno mengamini, hal itu akan menjadi ganjalan emiten energi bisa kembali mencetak pendapatan tertinggi pada tahun ini.

"Untuk di tahun 2023 peluang kembali cetak rekor sepertinya kecil, karena proyeksi harga komoditas batubara dan minyak akan lebih rendah dibandingkan tahun lalu," ujar Sukarno.

Baca Juga: Emiten-Emiten Ini Berpotensi Revenue Jumbo, Apa Rekomendasinya

Rekomendasi untuk jangka pendek, lebih baik wait and see pada saham batubara. "Secara teknikal belum ada sinyal beli yang jelas, terutama saham batubara yang sedang tren penurunan," imbuh Sukarno.

Research Analyst Reliance Sekuritas, Ayu Dian, sepakat bahwa sentimen negatif masih kental menyelimuti komoditas batubara. Apalagi, dengan rencana pemerintah China mulai mencabut larangan ekspor batubara dari Australia. Hal ini membuat rekomendasi untuk emiten batubara masih netral.

Ayu justru menjagokan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang juga berpotensi mencetak rekor pendapatan tertinggi, menimbang lonjakan pendapatan pada kuartal ketiga 2022 dan tingginya harga nikel. Ayu menilai, Saham MDKA menarik dicermati dengan target harga Rp 5.450.

Praska menilai emiten di sektor industri, barang konsumen, keuangan, dan barang baku berpotensi mencetak kinerja yang stabil pada tahun ini. Saran Praska, saham emiten non-komoditas masih menarik untuk koleksi di jangka menengah-panjang, dengan strategi buy on weakness.

Sedangkan Nico menjagokan emiten di sektor konsumen primer. Daya beli yang terjaga serta peredaran uang yang akan melonjak pada tahun politik akan menjadi angin segar bagi sektor ini. Dus, Nico merekomendasikan buy untuk saham AMRT dan JPFA.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi