Catat! Per 1 Agustus 2020, PKP wajib lapor PPh 23/26 lewat e-Bupot 23/26



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mulai 1 Agustus 2020, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama wajib menggunakan aplikasi e-Bupot 23/26 untuk membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengklaim aplikasi ini adalah salah satu inovasi di bidang teknologi informasi yang bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak, menjamin kepastian hukum, mengawal akurasi data perpajakan, dan meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak.

Sebagai informasi, tahap pertama aplikasi e-Bupot 23/26 dimulai pada September 2017 yang diujicobakan pada?15 wajib pajak terpilih. Sejak itu, penggunaan aplikasi ini terus bertambah dan memasuki Tahap VI per Agustus 2020.


Menurut rencana, pada September 2020 nanti implementasinya akan diperluas untuk seluruh Pemotong PPh Pasal 23/26 non-PKP yang terdaftar di KPP se-Indonesia.

Adapun selama ini, pelaporan elektronik SPT PPh Pasal 23/26 belum diakomodasi oleh laman DJP sehingga sebagian besar wajib pajak masih perlu mengantre di KPP untuk melaporkannya secara langsung atau mengirimkan via pos.

Baca Juga: Wishnutama usulkan insentif PPh 25 hingga 100% bagi sektor wisata dan ekonomi kreatif

Sehingga, kini, dengan aplikasi yang berbasis web, wajib pajak dapat mengaksesnya di mana pun selama terhubung dengan internet. Aplikasi ini didesain untuk memudahkan Pemotong Pajak dalam menerbitkan Bukti Pemotongan  PPh Pasal 23, membuat kode billing pembayaran pajaknya, sekaligus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23/26 dalam satu program.

“Sistem ini juga menjamin kepastian hukum terkait status dan keandalan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26. Dengan pembuatan Bukti Pemotongan melalui aplikasi, data akan lebih mudah divalidasi dan akurasinya makin meningkat,” sebagaimana dikutip dalam laporan APBN Juni 2020.

Sebagai contoh, bila Pemotong Pajak bertransaksi dengan lawan transaksi yang tidak mempunyai NPWP maka wajib memasukkan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada aplikasi untuk dilakukan validasi.

Apabila NIK tersebut tidak valid, maka Bukti Pemotongan tidak dapat dibuat. Dengan demikian, data dipastikan akurat dan mencegah praktik penghindaran pajak dengan modus penggelapan omzet.

Kemenkeu menyebut ini merupakan komitmen Kementerian Keuangan dalam melakukan proses transformasi digital di bidang perpajakan. Ciri dari transformasi digital sendiri adalah bagaimana sebuah sistem dibangun secara natural mengikuti masa transaksi yang sebenarnya, sehingga dapat diketahui lebih awal berapa nilai transaksi yang menjadi dasar pengenaan pajak dan nilai pajak yang telah dipotong.

Selain itu, dapat segera diketahui berapa nilai pajak yang seharusnya dipotong dan apakah perhitungannya sudah benar. Sistem yang baik seharusnya mampu mendeteksi apakah nilai yang disetorkan telah sesuai dengan hal tersebut sehingga apabila terdapat kesalahan dalam pembayaran atau terjadi kecurangan dapat segera diambil tindakan.

Baca Juga: Mulai membaik, Sri Mulyani berharap penerimaan PPh badan bisa tumbuh di Juli ini

“Dengan adanya konsep sistem digital, jeda dalam pengumpulan data perpajakan yang sering ditemui dalam sistem manual akan semakin menipis, tergantikan dengan data akurat yang dapat diakses secara riil baik oleh wajib pajak maupun oleh otoritas pajak,” sebagaimana dikutip dalam laporan APBN Juni 2020. 

Selain mendorong pemenuhan prinsip kepastian hukum, sistem digital juga membantu memenuhi prinsip kelayakan dalam membayar.

Sebab, data yang dikumpulkan lebih awal dapat memberikan gambaran nyata terkait kondisi bisnis wajib pajak sehingga tindakan pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan pajak dapat dilakukan secara optimal, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai kemampuan membayar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto