KONTAN.CO.ID - Xianjiang. China menjadi negara pertama yang mengumumkan keberhasilan menangani pandemi virus corona pada Maret 2020. Namun, keberhasilan China mengendalikan corona juga diwarnai catatan kelam. Pemerintah China diduga menerapkan kebijakan secara kejam dan diskriminasi dalam mengendalikan virus corona.
XINJIANG, KOMPAS.com - Seorang wanita yang enggan disebut namanya menceritakan bagaimana dia ditangkap saat puncak wabah virus corona di China dan dipaksa minum obat tertentu. Dilansir the Associated Press, ketika polisi menangkap wanita yang ternyata beretnis Uighur itu, dia dimasukkan ke dalam sel tahanan bersama puluhan wanita lainnya. Di sana, wanita itu dipaksa minum obat yang membuatnya merasa lemas dan mual. Sipir penjara bahkan mengawasi wanita itu untuk memastikan dia meminum obatnya. Dalam sekali seminggu, wanita itu beserta tahanan lainnya juga harus menelanjangi diri mereka sendiri dan menutup wajah mereka saat penjaga penjara menyemprot mereka dengan cairan disinfektan. Petugas itu menyemprot mereka "seperti petugas pemadam kebakaran," ujar wanita itu. "Rasanya seperti mendidih," kata wanita itu melalui telepon dari Xinjiang. Dia enggan memberitahu namanya karena khawatir akan ditahan aparat. "Tangan saya rusak, kulit saya mengelupas." Pemerintah China di wilayah Xinjiang, ujung barat laut China memang melakukan tindakan kejam untuk memerangi virus corona, demikian dikutip the Associated Press, Senin (31/8/2020). Tindakan itu seperti mengunci secara fisik penduduk rumah, memberlakukan karantina lebih dari 40 hari dan menangkapi warga Xinjiang yang tidak patuh. Menurut pakar medis, mereka juga melanggar etika medis dengan memaksa warganya meminum obat tradisional China. Hal ini diketahui dari pemberitahuan pemerintah melalui media sosial dan wawancara dengan 3 orang di karantina Xinjiang. Salah satu pengobatan herbal yang digunakan di Xinjiang, Qingfei Paidu berisi bahan-bahan yang dilarang dikonsumsi oleh pemerintah Jerman, Swiss dan Amerika Serikat (AS) juga negara lain karena memuat racun karsinogen tingkat tinggi. Baca juga: Dari Pemerkosaan sampai Sterilisasi, Ini Pengakuan Muslim Uighur yang Berhasil Bebas Penguncian atau lockdown diterapkan dengan keras di China, terutama di Wuhan Provinsi Hubei, tempat virus pertama kali terdeteksi. Tapi, meski Wuhan bergulat dengan lebih dari 50.000 kasus dan Hubei dengan total 68.000, lebih banyak dari Xinjiang, penduduk di Wuhan tidak dipaksa minum obat tradisional. Warga Wuhan juga diizinkan untuk keluar dari kompleks mereka untuk berolahraga atau mengirim bahan makanan. Sebaliknya, lebih dari setengah dari 25 juta orang Xinjiang berada di bawah penguncian yang meluas ratusan mil dari pusat wabah di ibu kota, Urumqi, menurut tinjauan the Associated Press atas pemberitahuan pemerintah dan laporan media pemerintah. Bahkan ketika Wuhan dan sebagian besar China telah kembali ke kehidupan normal, penguncian Xinjiang masih diawasi aparat dan mengubah wilayah itu menjadi wilayah yang diawasi secara digital oleh polisi. Selama tiga tahun terakhir, otoritas Xinjiang telah menyapu satu juta atau lebih orang Uighur, Kazakh, dan etnis minoritas lainnya ke dalam berbagai bentuk penahanan, termasuk kamp interniran di luar hukum, di bawah tindakan keras keamanan yang meluas. Setelah ditahan selama lebih dari sebulan, wanita Uighur itu dibebaskan dan dikunci di dalam rumahnya. Kondisinya sekarang lebih baik, tetapi dia masih diisolasi, meskipun tes rutin menunjukkan dia bebas dari virus. Sekali sehari, katanya, petugas memaksakan obat tradisional dalam botol putih padanya, mengatakan bahwa dia akan ditahan jika tidak meminumnya. Pihak Associated Press melihat foto-foto botol itu dan cocok dengan gambar dari penduduk Xinjiang lain dan serta gambar-gambar yang beredar di media sosial China. Pihak berwenang mengatakan tindakan yang diambil adalah untuk kesejahteraan semua penduduk, meskipun mereka belum berkomentar mengapa tindakan tersebut lebih keras daripada yang diambil di tempat lain. Pemerintah China telah berjuang selama beberapa dekade untuk mengontrol Xinjiang, terkadang bentrok dengan banyak warga asli Uighur di kawasan itu, yang membenci pemerintahan China yang kejam. "Daerah Otonomi Xinjiang menjunjung tinggi prinsip manusia dan kehidupan yang utama... dan menjamin keselamatan dan kesehatan penduduk lokal dari semua kelompok etnis," kata Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian pada jumpa pers Jumat kemarin. Baca juga: Muslim Uighur Diduga di Kamp Re-Edukasi Terancam Terjangkit Covid-19 Otoritas Xinjiang dapat melakukan tindakan keras, kata para ahli, karena aparat keamanan didanai dengan boros, yang menurut beberapa perkiraan, polisi di sana paling banyak dibanding wilayah mana pun di planet ini. “Xinjiang adalah negara polisi, jadi pada dasarnya ini adalah darurat militer,” kata Darren Byler, seorang peneliti Uighur di Universitas Colorado. "Mereka mengira orang Uighur tidak dapat benar-benar mengawasi diri mereka sendiri, mereka harus dipaksa untuk mematuhi agar karantina (berjalan) efektif." Tidak semua tindakan yang dilakukan saat wabah virus corona baru-baru ini di Xinjiang ditujukan pada orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya saja. Beberapa juga diterapkan pada mayoritas warga Han di Xinjiang, meskipun mereka umumnya terhindar dari penahanan di luar hukum (kamp) yang digunakan terhadap minoritas. Bulan ini, ribuan warga Xinjiang turun ke media sosial untuk mengeluh tentang apa yang mereka sebut tindakan berlebihan selama wabah, beberapa menunjukkan gambar warga diborgol ke pagar dan pintu depan rumah mereka disegel dengan jeruji besi. Seorang wanita etnis Han dengan nama belakang Wang mengunggah foto dirinya sedang minum obat tradisional China di depan seorang pekerja medis dengan perlengkapan pelindung lengkap. "Kenapa kamu memaksa kami minum obat padahal kami tidak sakit!" serunya dalam unggahan 18 Agustus lalu dan dengan cepat dihapusnya. “Siapa yang akan bertanggung jawab jika ada masalah setelah minum begitu banyak obat? Mengapa kami bahkan tidak punya hak untuk melindungi kesehatan kami sendiri? ” Beberapa hari kemudian dia hanya menulis, “Saya sudah kehilangan semua harapan. Saya menangis ketika memikirkannya." Setelah kritik keras terhadap apa yang telah mereka lakukan, pihak berwenang melonggarkan beberapa pembatasan pekan lalu dan mulai mengizinkan beberapa penduduk untuk berjalan di kompleks mereka, dan beberapa meninggalkan wilayah itu setelah proses persetujuan birokrasi. Wang tidak menanggapi permintaan wawancara. Tapi unggahannya di akun media sosialnya persis dengan banyak orang lain yang mengunggah di media sosial, serta yang diwawancarai oleh Associated Press. Seorang pengusaha etnis Han yang bekerja antara Urumqi dan Beijing mengatakan bahwa dia dimasukkan ke dalam karantina pada pertengahan Juli. Meskipun telah melakukan tes virus corona lima kali dan hasilnya negatif pada setiap kali tes, katanya, pihak berwenang masih belum membiarkannya keluar. Ketika dia mengeluh tentang kondisinya secara online, dia berkata, dia telah menghapus unggahannya dan diberitahu aparat untuk tetap diam. “Hal yang paling mengerikan adalah keheningan,” tulisnya di situs media sosial China, Weibo pada pertengahan Agustus. "Setelah keheningan yang lama, Anda akan jatuh ke jurang keputusasaan." “Saya sudah lama berada di ruangan ini, saya tidak ingat berapa lama. Saya hanya ingin melupakan,” tulisnya lagi, beberapa hari kemudian dia menulis, "Saya menuliskan perasaan saya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa saya masih ada. Saya takut saya akan dilupakan oleh dunia." "Saya hancur berantakan," katanya kepada Associated Press baru-baru ini, dia menolak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan dari otoritas China. Dia juga dipaksa minum obat tradisional China, katanya, termasuk cairan dari botol putih tak bertanda yang sama dengan wanita Uighur itu. Dia juga dipaksa untuk mengonsumsi Lianhua Qingwen, obat herbal yang disita secara teratur oleh patroli Bea Cukai dan Perbatasan AS karena melanggar Undang-undang FDA karena secara keliru mengklaim efektif melawan Covid-19. Baca juga: Seperti Apa Pengobatan Tradisional China untuk Covid-19? Sejak awal wabah, pemerintah China telah mendorong pengobatan tradisional pada warganya. Pemulihannya dipuji oleh Presiden Xi Jinping, pemimpin otoriter dan nasionalis China, yang telah menganjurkan kebangkitan budaya tradisional China. Meskipun beberapa dokter yang didukung negara itu mengatakan mereka telah melakukan uji coba yang menunjukkan obat itu bekerja melawan virus, tidak ada data klinis yang mendukung klaim tersebut yang telah dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional. “Tak satu pun dari obat-obatan ini telah terbukti secara ilmiah efektif dan aman,” kata Fang Shimin, mantan ahli biokimia dan penulis yang dikenal karena penyelidikannya atas penipuan ilmiah di China yang sekarang tinggal di AS. “Tidak etis memaksa orang, sakit atau sehat, untuk minum obat yang tidak terbukti.” Ketika virus pertama kali mulai menyebar, ribuan apotek membanjiri apotek di Provinsi Hubei mencari pengobatan tradisional setelah media pemerintah mempromosikan keefektifannya melawan virus. Beberapa paket pil dimasukkan ke dalam paket perawatan yang dikirim ke pekerja dan pelajar China di luar negeri, beberapa dihiasi dengan bendera China, dan yang lain bertuliskan, “Ibu Pertiwi akan mendukungmu selamanya”. Tetapi tindakan baru di Xinjiang yang memaksa beberapa penduduk untuk minum obat belum pernah terjadi sebelumnya, kata para ahli. Pemerintah mengatakan bahwa tingkat partisipasi dalam pengobatan pengobatan tradisional China di wilayah tersebut telah "mencapai 100 persen", menurut laporan media pemerintah. Ketika ditanya tentang keluhan warga bahwa mereka dipaksa minum obat China, seorang pejabat setempat mengatakan itu dilakukan "menurut pendapat ahli." “Kami membantu menyelesaikan masalah orang-orang biasa,” kata Liu Haijiang, kepala distrik Dabancheng di Urumqi, “seperti mengantar anak-anak mereka ke sekolah, mengantarkan obat untuk mereka atau memeriksakan mereka ke dokter.” Dengan naiknya Xi, kritik terhadap pengobatan tradisional China meredup. Pada bulan April, seorang dokter Hubei yang berpengaruh, Yu Xiangdong, dicopot dari posisi manajemen rumah sakit karena mempertanyakan kemanjuran obat tradisional tersebut. Sebuah pemberitahuan online pemerintah mengatakan Yu "secara terbuka menerbitkan komentar yang tidak pantas yang memfitnah kebijakan pencegahan epidemi negara dan pengobatan tradisional China". Pada bulan Maret, Organisasi Kesehatan Dunia menghapus pedoman di situsnya yang mengatakan bahwa pengobatan herbal tidak efektif melawan virus dan bisa berbahaya, dengan mengatakan bahwa itu "terlalu luas". Dan pada bulan Mei, pemerintah kota Beijing mengumumkan rancangan Undang-undang yang akan mengkriminalisasi pidato yang "memfitnah" pengobatan tradisional China. Sekarang, pemerintah mendorong pengobatan tradisional China sebagai pengobatan untuk Covid-19 di luar negeri, mengirim pil dan para spesialis ke negara-negara seperti Iran, Italia, dan Filipina. Baca juga: Diklaim Efektif untuk Covid-19, Berikut Beda Hidroksiklorokuin dengan Klorokuin Para pemimpin negara lain juga mempelopori pengobatan yang belum terbukti dan berpotensi berisiko - terutama Presiden AS Donald Trump, yang menggunakan obat malaria hydroxychloroquine, yang dapat menyebabkan masalah denyut jantung, meskipun tidak ada bukti bahwa itu efektif melawan Covid-19. Tetapi China tampaknya menjadi yang pertama memaksa warganya, setidaknya di Xinjiang untuk mengonsumsi obat tradisional itu. Dorongan pemerintah China untuk pengobatan tradisional, yang diberikan gratis kepada penduduk Xinjiang, memperkuat kekayaan para miliarder dan menambah kas negara. Keluarga Wu Yiling, pendiri perusahaan yang membuat Lianhua Qingwen, telah melihat nilai saham mereka lebih dari dua kali lipat dalam enam bulan terakhir, menjaring mereka lebih dari satu miliar dolar. Tak hanya dia, pemerintah Guangdong, yang memiliki saham di perusahaan Wu juga terlibat untung. "Ini membuang-buang uang (sementara) perusahaan-perusahaan (penghasil obat tradisional) ini menghasilkan (uang) jutaan," kata seorang pakar kesehatan masyarakat yang bekerja erat dengan pemerintah China, menolak untuk disebutkan namanya karena takut akan penahanan. Wanita Uighur itu mengatakan bahwa meskipun ada ancaman terhadapnya, dia berhasil membuang cairan dan pil ke toilet. Seorang pria etnis Han yang orang tuanya berada di Xinjiang mengabarkan bahwa bagi mereka, pengobatannya bersifat sukarela. Meskipun tindakannya "ekstrem", katanya, itu bisa dimengerti. “Tidak ada cara lain jika pemerintah ingin mengendalikan epidemi ini,” katanya, menolak disebutkan namanya untuk menghindari penahanan aparat. "Kami tidak ingin wabah kami menjadi seperti di Eropa atau Amerika." Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Derita Minoritas Uighur di Xinjiang, Ditahan dan Dipaksa Minum Obat Tradisional China", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/global/read/2020/08/31/204018570/derita-minoritas-uighur-di-xinjiang-ditahan-dan-dipaksa-minum-obat?page=all#page2. Penulis : Miranti Kencana Wirawan Editor : Miranti Kencana Wirawan Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat: Android: https://bit.ly/3g85pkA iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Seorang wanita yang enggan disebut namanya menceritakan bagaimana dia ditangkap saat puncak wabah virus corona di China dan dipaksa minum obat tertentu. Dilansir the Associated Press, ketika polisi menangkap wanita yang ternyata beretnis Uighur itu, dia dimasukkan ke dalam sel tahanan bersama puluhan wanita lainnya. Baca juga: Lelang mobil dinas Xenia tahun 2006 di Jakarta, hanya Rp 26 jutaan, ini linknya