Lebaran Idul Fitri 1440 Hijriyah telah berlalu. Prosesi arus mudik dan arus balik lebaran pun sudah usai; orang-orang yang kemarin mudik dan liburan kini sudah kembali beraktivitas sebagaimana biasanya. Saatnya mengilas-balik peristiwa kolosal tahunan itu dalam sebuah catatan. Pasalnya, masih banyak kita temukan kekurangan dan perlu diperbaiki di masa mendatang, agar pelaksanaan arus mudik maritim, dan arus balik pada tahun-tahun ke depan dapat lebih baik lagi. Kilas-balik difokuskan pada pelaksanaan mudik dan arus balik maritim atau mudik menggunakan kapal laut. Mudik maritim pertama kali digelar tahun 2015 yang memberangkatkan pemudik sepeda motor ke berbagai daerah tujuan di Pulau Jawa setelah turun di pelabuhan Tanjung Emas, Semarang di Jawa Tengah. Kita sebut saja ini jenis pertama. Ini gawean Kementerian Perhubungan sepenuhnya, tidak ada keterlibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di dalamnya. Kemhub mencarter KM Dobonsolo untuk program tersebut dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Sayang, tidak diketahui berapa besar duit negara yang dikeluarkan setiap arus mudik dan balik untuk menyewa kapal yang dibangun di galangan Jos L Meyer, Papenburg, Jerman, tahun 1992 itu. Termasuk, biaya-biaya lain semisal uang tambat dan uang labuh atau
port dues (seorang teman praktisi pelabuhan di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, memberi tahu penulis bahwa dalam setiap perhelatan mudik gratis maritim tersebut, operator pelabuhan membebaskan port dues bagi kapal yang dioperasikan yang jumlahnya lumayan. Sejak dimodifikasi sekitar enam tahun lalu sehingga juga dapat mengangkut barang (baca: kendaraan), KM Dobonsolo menjadi tulang punggung mudik maritim hingga kini. Pada musim mudik Lebaran 2016, kapal ini sempat "dikandangkan" oleh Menteri Perhubungan kala itu, Ignasius Jonan. Sebagai gantinya, pemudik sepeda motor diangkut ke berbagai pojok kampung di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kereta api. Pernah pula KM Dobonsolo bertandem dengan KM Mutiara Santosa III milik PT Atosim Lampung mengangkut pemudik motor dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Tanjung Emas pada musim mudik Lebaran 2017. Mudik maritim jenis kedua adalah yang dibandari oleh BUMN. Dimaksud dengan dibandari ialah BUMN membeli sejumlah tiket kapal (biasanya kapal Pelni) dan membagikannya kepada para pemudik yang sudah didaftar sebelumnya oleh pihak perusahaan pelat merah yang mengadakan program mudik gratis maritim. Tiket yang disiapkan oleh BUMN bagi pemudik sekitar seribuan lembar setiap musim mudik hari raya. Itu berarti, jika kapal Pelni yang akan membawa penumpang berkapasitas 2.000 penumpang, tiket yang dibeli BUMN sebanyak 1.000 lembar. Sisanya dijual Pelni ke penumpang umum (bukan peserta mudik gratis). Catatan penting Ada beberapa catatan terkait pelaksanaan mudik gratis maritim 2019, dan dapat juga untuk menilai program yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, yang bisa disajikan dalam tulisan ini. Pertama, terjadi anomali hubungan antara pengangkut (transporter/carrier) dengan penumpang yang lazim ada dalam manajemen transportasi yang safe, secure , dan comfortable. Galibnya, pada setiap kegiatan transportasi terdapat tiga elemen, yakni penumpang, kargo dan pengangkut. Mudik gratis maritim membuat garis demarkasi antar ketiga unsur ini, menjadi tidak jelas karena posisinya bertukar. KM Dobonsolo yang dicarter oleh Kemhub maupun tiket yang dibeli BUMN menjadikan peserta mudik gratis maritim sebagai kargo. Sementara, Kemhub dan BUMN berubah sebagai pengangkut. Adapun perusahaan pelayaran berperan sebagai shipowner. Orang-orang bisa jadi akan mengatakan, "Bodo amat tertukar. Yang penting bisa sampai kampung halaman, gratis lagi!" Pada derajat tertentu memang tidak ada masalah dengan posisi dan peran tiga elemen transportasi yang berubah tadi. Namun, apabila kita mendalami lebih jauh lagi, banyak masalah yang muncul akibat situasi tidak jelas tersebut. Sebagi contoh, dengan membayar ongkos sebetulnya penumpang berhak mendapatkan pelayanan terbaik dari operator kapal dalam wujud
safe, secure, comfortable voyage. Yang terjadi justru sebaliknya. Ongkos yang dibayarkan ternyata tidak menjadi mata uang untuk beroleh kenyamanan. Kapal sesak dengan orang; setiap jengkal ruang kosong yang ada di atas kapal terisi sehingga untuk berjalan saja sudah sulit. Dari sisi keselamatan, dengan penumpang yang membeludak Kemhub selalu memberikan dispensasi kelebihan penumpang sekitar 10%-20% dari kapasitas angkut kapal setiap Lebaran akan sulit dikendalikan, mana kala terjadi distress seperti kebakaran, kebocoran, dan lain-lain. Catatan kedua, mudik gratis maritim 2019, juga kegiatan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, pada tingkatan tertentu merupakan upaya intervensi bisnis pelayaran penumpang. Tahun ini intervensi terasa menyesakkan dada karena situasi bisnis lumayan membaik sejak naiknya harga tiket pesawat. Menurut media, penumpang kapal Pelni tumbuh rata-rata 39% sejak Januari 2019 pada semua lintasan yang dilayani. Pengangkutan barang pun ikut terkerek menyusul melambungnya ongkos terbang dengan burung besi. Loh, kok dibilang intervensi? Bukankah Kemhub mencarter kapal Pelni dan itu berarti revenue bagi perusahaan itu? Meskipun BUMN yang membeli tiket kapal, itu semua pemasukan bagi Pelni. Betul. Tetapi, perlu dicatat, sebagai entitas bisnis Pelni sering mendapat subsidi pemerintah untuk biaya operasionalnya. Itu berarti, uang carter tak lain merupakan subsidi, bukan duit kontan. Demikian pula hasil penjualan tiket kepada perusahaan pelat merah yang menggelar kegiatan mudik maritim gratis. Harga belinya merupakan "harga antarteman". Singkat cerita, Pelni tidak banyak untungnya. Idealnya, setiap kali musim mudik tiba, Pelni bisa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan berbagai terobosan dalam memanfaatkan momentum yang ada. Salah satunya dengan menyewa kapal penumpang yang lebih nyaman untuk pemudik yang berkantong lumayan tebal. Harus diakui, kapal-kapal Pelni yang ada saat ini sudah berumur lumayan tua. AC-nya sudah tidak dingin lagi, WC-nya, terutama di kelas ekonomi, perlu perbaikan menyeluruh dan lain sebagainya.
Agar penyewaan kapal yang lebih nyaman itu bisa diwujudkan, perlu intervensi pemerintah. Intervensi model ini amat sangat dibutuhkan. Bentuknya bisa bermacam-macam. Misalnya, pembebasan bea masuk, keringanan pajak, dan lain sebagainya. Sudah saatnya intervensi dalam bentuk mudik gratis ditinjau ulang karena bebannya tidak bisa ditanggung lagi oleh Pelni. Perusahaan ini bisa bangkrut dibuatnya. Tidak hanya perusahaan yang gulung tikar, pemerintahan pun akan makin keteteran dalam membiayai mudik gratis jika praktik ini terus dipertahankan.
♦ Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi