KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT PLN akan segera merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2023-2040 yang lebih hijau dengan rencana penambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 60 GW dengan 32 GW di antaranya merupakan pembangkit pemikul beban dasar (
base load). Board of Director International Geothermal Association (IGA), Surya Darma menjelaskan, adanya road map transisi energi Indonesia menuju
net zero emission (NZE) di 2060 tentu pemerintah harus mengimbanginya dengan penyiapan pembangunan energi terbarukan yang lebih agresif. Selama ini, RUPTL 2021-2030 baru mengakomodir sekitar 20 GW energi terbarukan. Sementara itu, perkiraannya sampai 2060 listrik yang harus disiapkan mencapai 700-an GW.
Baca Juga: Pemerintah Atur Harga Patokan Tertinggi Biomassa untuk Co-Firing, Ini Kata Pengusaha “Kondisi ini mengharuskan Indonesia juga menyiapkan energi terbarukan yang lebih besar. Karena itu Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang sudah ada pun harus direvisi untuk menyesuaikan dengan target NZE Indonesia. Maka upaya PLN menargetkan 60 GW pembangkit hijau merupakan hal yang masuk akal,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (14/9). Persoalannya, kebutuhan energi terbarukan untuk beban listrik dasar (
base load) hanya bisa dipasok dari panas bumi, hidro, dan biomassa. Tentu ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ambil contoh, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) memiliki keunggulan faktor kapasitas yang lebih stabil mencapai 95%. Sedangkan, hidro mungkin hanya mencapai 60% akibat perbedaan musim yang menghasilkan listrik dalam jumlah berbeda. “Oleh karenanya. perlu diantisipasi dan dipersiapkan dengan baik. Dengan demikian, PLN memang harus memanfaatkan keunggulan panas bumi untuk transformasi energi di fosil ke energi terbarukan,” jelasnya. Surya menyatakan, panas bumi sudah memiliki cukup banyak wilayah kerja yang sudah ditender untuk dilakukan eksplorasi. Maka itu, persoalan keekonomian proyek panas bumi perlu dicari jalan keluar oleh Pemerintah dan PLN. Pasalnya saat ini, masih ada perjanjian pembelian tenaga listrik atau
power purchase agreement (PPA) belum diperoleh para pengembang sesuai dengan keekonomian yang menyebabkan mereka sulit mendapatkan pendanaan proyek panas bumi.
Baca Juga: PLN Jajaki Penerapan Teknologi CCS pada Pembangkit untuk Kurangi Emisi Karbon Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Prijandaru Effendi menjelaskan, selain negosiasi dengan PLN yang memakan waktu lama, aturan turunan dari Peraturan Presiden 112 Tahun 2022 Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik juga belum selesai semua.
“Menurut saya jika tidak ada perubahan yang signifikan, sangat berat diharapkan kontribusi yang besar dari panas bumi. Padahal geothermal sudah terbukti sebagai energi yang sanggup mengurangi peran pembangkit batubara sebagai
base load supplier,” ujarnya saat dihubungi terpisah. Menurut Prijandaru, salah satu kebijakan yang dapat mendorong pengembangan panas bumi di Indonesia ialah harga yang berkeadlian sesuai dengan keekonomian proyek dan PLN sanggup membeli. Dia menegaskan ketika harga listrik panas bumi sudah sesuai, otomatis pembangkit panas bumi akan semakin bertambah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .