Catatan pertumbuhan triwulan II-2018



Realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan II-2018 cukup tinggi. Secara triwulanan, ekonomi terakselerasi 4,21% quarter to quarter (qtq). Triwulan sebelumnya, ekonomi justru turun sekitar 0,41% (qtq). Pertumbuhan triwulan II-2018 juga menjadi yang tertinggi di rentang tahun 2015–2018. Pada triwulan II-2016 dan tahun 2017, pertumbuhan sempat mencapai 4,01% (qtq). Dan di triwulan II-2016, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,21% (yoy). Di luar periode tersebut, ekonomi hanya tumbuh pada kisaran 5% (yoy).

Meski cukup baik, ada beberapa catatan pada pertumbuhan triwulan II-2018. Pertama, pertumbuhan ekonomi masih ditopang lonjakan konsumsi rumah tangga. Periode bulan April sampai Juni dipenuhi dengan konsumsi tinggi, seperti Ramadan, Idul Fitri, dan tahun ajaran baru.

Konsumsi rumah tangga, sebagai penyumbang lebih dari separuh pertumbuhan ekonomi, melonjak hingga 5,14% (yoy). Padahal sejak tahun 2015 komponen ini tumbuh di bawah 5% (kecuali pada triwulan II dan triwulan III-2016). Ini tidak terlepas dari tunjangan hari raya (THR) bagi pegawai swasta serta langkah pemerintah menggenjot anggaran THR dan gaji ke-13 di luar gaji pokok. Berbagai skema tersebut ternyata ampuh mendorong konsumsi rumah tangga tumbuh lebih cepat. Realisasi belanja pemerintah triwulan II-2018 terakselerasi hingga 32,52% (qtq).


Realisasi kredit perbankan juga dapat mengonfirmasi bagaimana sektor konsumsi tumbuh tinggi. Triwulan II-2017, kredit bank umum tumbuh sekitar 2,4% (qtq), naik cukup berarti dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 0,91% (qtq). Pertumbuhan kredit mulai melambat pada separuh ketiga 2017 dan naik pada triwulan akhir 2017, masing-masing 1,55% (qtq) dan 3,12% (qtq). Momentum Natal dan Tahun Baru kembali menunjukkan peran penting dalam mendorong permintaan kredit. Pola yang mirip juga terlihat pada 2016, dimana permintaan kredit tumbuh lamban pada triwulan I (0,1%) dan menaik pada triwulan II; merendah pada triwulan III; dan kembali terakselerasi pada triwulan akhir.

Lonjakan pertumbuhan ekonomi lewat sektor rumah tangga sangat terbantu oleh relatif rendahnya inflasi sepanjang April-Juni 2018. Inflasi umum bulanan triwulan II-2018 hanya 0,90%; dimana dua jenis inflasi yang relatif sensitif terhadap daya beli masyarakat, terkelola dengan baik. Inflasi harga diatur pemerintah (administered price) 1,89% dan inflasi harga barang bergejolak (volatile food) 0,80%.

Tahun lalu, inflasi cukup tinggi, sehingga momentum puasa dan Lebaran tidak begitu tergambar dari realisasi pertumbuhan triwulan II-2017. Inflasi umum mencapai 1,17%; dan inflasi administered dan volatile food masing-masing 4,06% dan 0,3%. Kondisi inflasi bulanan triwulan II-2018 dan triwulan II-2016 relatif mirip. Inflasi umum triwulan II-2016 hanya 0,45%; bahkan harga diatur pemerintah deflasi sekitar 0,71%. Sementara itu inflasi harga barang bergejolak sekitar 0,99%.

Kedua, kontribusi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai titik terendah. Ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah, karena akan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Pada triwulan IV-2017, pangsa industri pengolahan terhadap PDB hanya 19,93% dan pada triwulan II-2018 tinggal 19,83%. Dari sisi pertumbuhan, aktivitas industri pengolahan hanya naik 3,97% (yoy), menurun dari triwulan sebelumnya sebesar 4,5% (yoy). Industri pengolahan nonmigas hanya tumbuh 4,41%, lebih rendah dari triwulan-I 2018 sekitar 5,07%.

Koreksi pertumbuhan sektor industri manufaktur berseberangan dengan lonjakan pertumbuhan sektor perdagangan, mencapai 5,24% (yoy). Kondisi ini menjelaskan, semakin tingginya penetrasi barang-barang impor. Sepanjang triwulan II-2018, impor barang konsumsi naik 69% (yoy) dan 7,52 % (qtq). Angka tersebut melonjak jauh dibandingkan dengan pertumbuhan impor secara total, masing-masing 29% (yoy) dan 2,5% (qtq). Impor baku baku/penolong tumbuh 24% (yoy) dan 2,56% (qtq). Sedangkan impor barang modal naik 36% (yoy) tapi melorot -0,2% (qtq).

Ketiga, defisit neraca perdagangan kembali menggerus pertumbuhan triwulan II-2018, hingga 0,52%. Hal ini tidak terlepas dari depresiasi nilai tukar rupiah, serta lonjakan harga minyak dunia. Sepanjang Januari-Juni 2018 neraca perdagangan defisit hingga US$ 1,01 miliar. Neraca migas defisit hingga US$ 5,39 miliar dan neraca nonmigas surplus sekitar US$ 4,37 miliar. Berlanjutnya kenaikan harga minyak dunia akan terus mengancam neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Kondisi tersebut menyebabkan peranan ekspor bersih yang sudah positif terhadap PDB, harus tertekan. Dengan mengabaikan triwulan IV-2015, rata-rata ekspor bersih terhadap PDB di 2015–2018 mencapai 0,86% per triwulan.

Tantangan akhir tahun

Persoalannya, momentum konsumsi tinggi sudah lewat dan tentu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan di triwulan berikutnya. Memang, masih ada triwulan IV yang bisa mendongkrak pertumbuhan, sehingga angka 5,4% dapat dipenuhi. Namun, level tersebut akan meleset jika performa triwulan III bergerak signifikan.

Apalagi ada satu tantangan yang muncul yakni penurunan indeks tendensi konsumen (ITK). BPS menjelaskan, ITK merupakan salah satu gambaran perekonomian tentang situasi bisnis dan perekonomian secara umum. ITK melihat kondisi ekonomi para konsumen sebagai pelaku konsumsi terhadap produk barang dan jasa. Pada triwulan II-2018 ITK turun jadi 96,99 (pesimistis) dari posisi 125,43 pada triwulan I-2018. Proyeksi ITK triwulan III-2018 jadi yang terendah sejak tahun 2015.

Ada dua komponen pembentuk ITK yaitu perkiraan pendapatan rumah tangga, dan rencana pembelian barang-barang tahan lama. Pada triwulan III-2018, keduanya diproyeksi berada pada level pesimistis masing-masing 97,72 dan 95,69. Untuk itu pemerintah harus menjaga inflasi sebagai penentu daya beli. Sampai Juli, inflasi tahunan mencapai cukup rendah 3,18% (yoy), namun inflasi volatile food mulai meningkat, hingga 5,36% (yoy).

Bagi sektor industri, tantangan bukan hanya muncul dari depresiasi rupiah, tetapi juga pengaruh lonjakan harga minyak. Kedua faktor tersebut memengaruhi biaya produksi sektor industri dan permintaan konsumen. Kenaikan biaya produksi tidak serta-merta disesuaikan ke harga barang, karena akan memengaruhi permintaan konsumen. Sementara itu, tantangan menjadikan neraca perdagangan kembali berkontribusi positif terhadap PDB, dengan munculnya ancaman perang dagang Donald Trump ke Indonesia.•

Abdul Manap Pulungan, Peneliti Indef

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi