JAKARTA. Risiko berinvestasi di Indonesia naik tajam dalam sehari. Pada penutupan pasar obligasi, Rabu (16/2), Credit Default Swap (CDS) sebagai acuan pengukur risiko, untuk obligasi bertenor 10 tahun naik menjadi 204,2, dari sebelumnya di 200,3. Begitupun dengan CDS bertenor lima tahun yang juga mendaki ke level 163,68, dari sebelumnya di 160,57. Sentimen negatif global terus berlanjut sampai sempat membakar Wall Street dan berimbas pada pembukaan bursa regional dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Kamis (16/2).Managing Research Indosurya Asset Management Reza Priyambada menuturkan, sepanjang perdagangan Rabu (15/2), obligasi pemerintah bertenor panjang rata-rata mencatat kenaikan yield sebesar 0,26 basis poin (bps). Sedangkan, yield obligasi pemerintah bertenor pendek dan menengah, secara rata-rata turun masing-masing 4,04 bps dan 4,84 bps."Hal ini menandakan, banyak investor yang menjual obligasi jangka panjang, sehingga yield naik, dan cenderung memburu obligasi berdurasi menengah dan pendek," ujar Reza, Kamis (16/2).Analis Obligasi UOB Securities Agus Salim menyebut, dengan kecenderungan turunnya yield di obligasi bertenor menengah dan pendek menandakan investor mulai khawatir. Investor mengerem investasi jangka panjang dan mengambil langkah aman, dengan masuk ke obligasi yang bertenor pendek dan menengah untuk menghindari risiko. Risiko masih berkutat di masalah penanganan krisis Uni Eropa, di mana kabar terakhir mengenai penanganan utang Yunani telah direspon negatif oleh pelaku pasar. "Karena jika ada sentimen negatif yang melanda pasar, kerugian yang ditanggung investor akan lebih kecil dengan mengoleksi obligasi tenor menengah dan pendek," jelas Agus, Kamis (16/2).Namun, walaupun CDS naik tajam, secara keseluruhan harga obligasi pemerintah masih terdorong naik. Kondisi ini tercermin dari Indeks Dealer Market Association (IDMA), acuan harga obligasi pemerintah yang pada periode yang sama ditutup naik tipis 2 bps menjadi 116,21, dari 116,19 di hari sebelumnya.
CDS naik, investor hindari SUN tenor panjang
JAKARTA. Risiko berinvestasi di Indonesia naik tajam dalam sehari. Pada penutupan pasar obligasi, Rabu (16/2), Credit Default Swap (CDS) sebagai acuan pengukur risiko, untuk obligasi bertenor 10 tahun naik menjadi 204,2, dari sebelumnya di 200,3. Begitupun dengan CDS bertenor lima tahun yang juga mendaki ke level 163,68, dari sebelumnya di 160,57. Sentimen negatif global terus berlanjut sampai sempat membakar Wall Street dan berimbas pada pembukaan bursa regional dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Kamis (16/2).Managing Research Indosurya Asset Management Reza Priyambada menuturkan, sepanjang perdagangan Rabu (15/2), obligasi pemerintah bertenor panjang rata-rata mencatat kenaikan yield sebesar 0,26 basis poin (bps). Sedangkan, yield obligasi pemerintah bertenor pendek dan menengah, secara rata-rata turun masing-masing 4,04 bps dan 4,84 bps."Hal ini menandakan, banyak investor yang menjual obligasi jangka panjang, sehingga yield naik, dan cenderung memburu obligasi berdurasi menengah dan pendek," ujar Reza, Kamis (16/2).Analis Obligasi UOB Securities Agus Salim menyebut, dengan kecenderungan turunnya yield di obligasi bertenor menengah dan pendek menandakan investor mulai khawatir. Investor mengerem investasi jangka panjang dan mengambil langkah aman, dengan masuk ke obligasi yang bertenor pendek dan menengah untuk menghindari risiko. Risiko masih berkutat di masalah penanganan krisis Uni Eropa, di mana kabar terakhir mengenai penanganan utang Yunani telah direspon negatif oleh pelaku pasar. "Karena jika ada sentimen negatif yang melanda pasar, kerugian yang ditanggung investor akan lebih kecil dengan mengoleksi obligasi tenor menengah dan pendek," jelas Agus, Kamis (16/2).Namun, walaupun CDS naik tajam, secara keseluruhan harga obligasi pemerintah masih terdorong naik. Kondisi ini tercermin dari Indeks Dealer Market Association (IDMA), acuan harga obligasi pemerintah yang pada periode yang sama ditutup naik tipis 2 bps menjadi 116,21, dari 116,19 di hari sebelumnya.