KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persepsi risiko investasi atawa Credit Default Swap (CDS) tenor 5 tahun Indonesia naik di awal bulan Februari 2025. Faktor eksternal dari kebijakan tarif dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan faktor risiko dari domestik menjadi pendorongnya. Berdasarkan data World Government Bonds, CDS 5 tahun Indonesia berada di 76,14 pada Rabu (3/2). Angka itu naik dari akhir Januari 2025 yang berada di 74,74. Direktur Eksekutif Center of Economic and law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, peningkatan risiko tak hanya dari eksternal saja.
Dari dalam negeri, ada program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang anggarannya akan ditingkatkan dan kapasitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dipertaruhkan. Kemudian ada efisiensi anggaran, sekitar Rp 300an triliun dan banyak yang melihat jika efisiensi anggarannya untuk MBG, yang dinilai tidak bisa mendorong ekonomi domestik. Justru, Bhima menilai langkah itu berpotensi blunder ke ekonomi daerah, seperti hotel dan MICE yang turun. Baca Juga: Aliran Modal Asing Keluar Indonesia Rp 820 Miliar Akhir Januari 2025 Selain itu, nomenklatur kementerian yang gemuk. Bhima mencontohkan, mengenai koordinasi perizinan dengan kasus investasi Apple yang tak kunjung terealisasi. "Jadi ini banyak yang melihat domestik tidak mampu menangkap peluang karena kompleksitas perizinan dan koordinasi dari nomenklatur yang gemuk," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (3/2). Lanjutnya, dikhawatirkan banyak perusahaan-perusahaan yang mau relokasi, mungkin dari efek tarif antara AS dengan China akhirnya tidak ke Indonesia. "Jadi malah mengulang kesalahan lagi seperti era Trump yang pertama karena tidak ada satu pun perusahaan yang relokasi industri ke Indonesia," tegasnya. Kemudian daya beli, yang mana Bhima menuturkan data inflasi Indonesia yang rendah di Januari 2025. Namun, hal itu menjadi tanda tanya mengapa masyarakat tidak berbelanja. Sementara di sisi lain, harga listrik sudah diberikan diskon 50%, PPn 12% juga dibatalkan, dan usia produktif juga tinggi karena bonus demografi. Sehingga ia menilai ada anomali dan mengindikasikan ada masalah terkait daya beli masyarakat. "Jadi, sudah faktor eksternal buruk, domestiknya juga belum support," lanjut dia. Bhima juga menilai penurunan kali ini juga baru permulaan. Menurutnya, penurunan masih berpotensi berlanjut, tetapi masih harus melihat kembali perkembangan, mengingat negara-negara yang dikenakan tarif sudah membicarakan mengenai aksi balasan.