KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak bisa dipungkiri, pinjaman
online (pinjol) ilegal bagaikan ilalang liar yang tumbuh tak beraturan. Oleh karenanya, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) kembali melakukan edukasi pada masyarakat terkait pinjol ini. Terbaur, AFPI mengedukasi masyarakat di Belitung yang terdiri dari mahasiswa, guru dan pelaku UMKM. Dipilihnya Belitung kali ini merupakan salah satu upaya AFPI dan OJK untuk memberikan sosialisasi dan edukasi mengenai peran industri
fintech lending dan waspada pinjol ilegal secara merata di seluruh daerah di Tanah Air. Berdasarkan data OJK per 31 Agustus 2022, total pemberian pinjaman dari industri
fintech lending di Kepulauan Bangka Belitung sebesar Rp 1 triliun. Adapun
outstanding pinjaman sebesar Rp 143 miliar dan total peminjam atau
borrower sebanyak 166.000 akun dan pemberi pinjaman atau
lender sebanyak 3.462 akun.
Adapun, total pinjaman industri
fintech lending atau pinjaman
online berizin OJK hingga Agustus 2022 sebesar Rp 436,12 triliun dari 102 penyelenggara, yang disalurkan kepada 88,21 juta
borrower dan 945.000
lender.
Baca Juga: Pencairan Dana Lebih Cepat Bikin Masyarakat Tergiur untuk Meminjam ke Pinjol Ilegal Dalam kesempatan itu, Ketua Bidang Edukasi, Literasi dan Riset AFPI Entjik S Djafar merinci kerugian-kerugian yang bisa ditimbulkan oleh pinjol ilegal di antaranya adalah bunga pinjaman yang sangat tinggi, penagihan kasar kepada penerima pinjaman, waktu jatuh tempo pembayaran pinjaman yang tidak sesuai dengan perjanjian di awal, serta akses terhadap data pribadi. “Dengan edukasi keuangan yang baik, diharapkan masyarakat dapat semakin bijak dalam memanfaatkan layanan pinjaman
online legal yang berizin dari OJK secara optimal dan melakukan kegiatan pinjam meminjam dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh,” ujar Entjik Meskipun demikian, Entjik juga menegaskan kehadiran industri
fintech lending dapat memberikan kemudahan layanan finansial. Mengingat, sebelumnya layanan finansial didominasi oleh bank dengan persyaratan yang cukup memberatkan masyarakat. Hal tersebut terlihat dari tingginya
credit gap atau kebutuhan kredit masyarakat yang belum terpenuhi, sebesar Rp 1.650 triliun per tahun 2018, di mana kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 2.650 triliun, namun Industri Jasa Keuangan (IJK) tradisional hanya menopang Rp1.000 Triliun. “Industri
fintech lending atau
fintech pendanaan menyasar 46,6 Juta UMKM yang belum memiliki akses kepada kredit (
unbanked UMKM) dan 132 Juta individu yang belum memiliki akses kepada kredit (
unbanked individu),” ujar Entjik. Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan
Financial Technology OJK Tris Yulianta menyampaikan dengan gencarnya melakukan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat, diharapkan dapat mengenalkan peran dan manfaat dari penggunaan pinjaman
online kepada masyarakat. Selain itu, dapat menginformasikan bahaya pinjaman
online ilegal.
Baca Juga: OJK: Pencairan Dana Pinjol Legal Butuh Waktu Lebih Lama dari Pinjol Ilegal Lebih lanjut, Tris menyampaikan, selain memahami manfaat dan risiko
fintech pendanaan, masyarakat juga perlu memahami terkait perbedaan penyelenggara
fintech lending atau pinjaman
online berizin OJK dengan pinjol ilegal. Sebagai informasi, saat ini, ada 102 penyelenggara
fintech pendanaan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai kebutuhannya. Adapun, jumlah pinjol ilegal jauh lebih banyak dan terus bertumbuh. Oleh karena itu, Satgas Waspada Investasi (SWI) terus berperan aktif memberantas usaha pinjol ilegal di Indonesia. “Hingga saat ini, sudah ada 4.625 penyelenggara pinjol ilegal yang ditutup oleh SWI. Namun, kami juga mengimbau kepada masyarakat untuk tetap berhati-hati karena pinjol ilegal ini ibarat jamur di musim hujan, berkembang dengan sangat cepat,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi