JAKARTA. Kebakaran hutan yang terjadi di Pulau Sumatera, Kalimantan hingga Papua sudah menimbulkan kabut asap dan merupakan bencana serius yang dihadapi pemerintah saat ini. Bahkan, kebakaran hutan yang terjadi sepanjang tahun 2015 ini dinilai sebagai kebakaran paling besar yang pernah terjadi di Indonesia. Menurut Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, salah satu penyebabnya justru berasal dari kebijakan pemerintah sendiri. Menurutnya, selama 10 tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sudah 6,3 juta hektare izin lahan gambut dikeluarkan dari total 31 juta hektare lahan gambut di Indonesia.
Kini, kata dia, lahan gambut yang sudah ditanami selama 10 tahun itu terbakar dan menimbulkan kabut asap. "Awalnya saya kira hanya 4,8 juta hektare, tapi saya dicek ke lapangan ternyata sudah 6,3 juta hektare izin dikeluarkan," kata Luhut, Senin (27/10). Hal itulah menurutnya yang menjadi salah satu pokok permasalahan pemicu kebakaran hutan. Luhut menjelaskan, tanah gambut memiliki kedalaman 5-6 meter. Jika lahan tersebut terbakar, lalu dipadamkan di bagian permukaan, maka api di bagian bawah masih belum padam. Hal itulah yang menyebabkan pemadaman sulit dilakukan. Celakanya, asap gambut sangat parah dengan perbandingan satu hektar lahan gambut yang terbakar asapnya sama seperti 1.000 hektar lahan biasa yang terbakar. Tak pelak, asap pun mengepung udara di sekitar kawasan kebakaran. Di tambah angin yang bertiup kencang, dampak asap semakin meluas, dirasakan hingga ke negara-negara tetangga. Di Riau sendiri sudah lebih dari 10.000 hektar lahan gambut terbakar. Belum daerah lain seperti Kalimantan. Sejatiya, ini merupakan kejadian tahunan yang disebabkan ulah manusia yang membakar lahan untuk pertanian atau perkebunan. Ditambah pengaruh El Nino pada 2015, dimana Indonesia hanya menerima curah hujan yang sedikit sehingga kemarau semakin panjang. Hutan yang biasanya basah, kini kering kerontang sehingga rawan terbakar. WWF Indonesia menyebutkan pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni menyerap dan menahan air secara maksimal. Ini yang menyebabkan pada musim hujan dan musim kemarau, jumlah cadangan air tidak ekstrem. Namun, apabila kondisi lahan gambut sudah mulai terganggu akibat konversi lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya akan terganggu. Saat mengering, gambut mudah terbakar dan menimbulkan asap tebal nan hitam. Jika sudah telanjur terbakar, api di lahan gambut jadi sulit dipadamkan karena lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu. Sisa Gambut di bawah permukaan menjadi semacam bahan bakar sehingga api yang tampak padam di permukaan, tidak berarti benar-benar padam. Di bawah permukaan tanah, secara lambat bara api tetap menyala sehingga sulit dideteksi. Ini pula yang menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama (berbulan-bulan). Biasanya api baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sendiri mengeluhkan banyaknya izin penanaman gambut yang dikeluarkan di era SBY. Kini, kata dia, lahan gambut yang sudah ditanami selama 10 tahun itu terbakar dan menimbulkan kabut asap. Menurut Siti, dari 6,3 juta hektare izin yang sudah dikeluarkan, yang terluas diberikan untuk izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu dan hutan alam, yaitu 4,5 juta hektare. Adapun izin untuk hutan tanaman industri seluas 1,8 juta hektare. Ke depannya, kata Siti, pemerintah akan menghentikan penerbitan izin penanaman di lahan gambut. Adapun izin di 6,3 juta lahan yang sudah telanjur ditanami akan ditinjau ulang. Hal ini, kata dia, sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo. "Ini sudah genting dan harus dihentikan. Lahan gambut harus dikembalikan sebagaimana fungsinya untuk menjaga ekosistem," ucap Siti. Sebelumnya Presiden Joko Widodo memang telah menginstruksikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk tidak menerbitkan izin penanaman di lahan gambut yang sebelumnya terbakar. Instruksi tersebut disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas soal evaluasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta penanganan korban asap. Selain izin lahan gambut, Jokowi juga menginstruksikan beberapa hal. Pertama, kebijakan satu peta lahan kebakaran hutan harus dijalankan. Tidak boleh lagi ada tumpang tindih peta lahan terbakar. Kedua, lahan gambut yang masih "perawan" tidak boleh dibuka dengan cara apa pun. Ketiga, melakukan restorasi lahan gambut. Keempat, melakukan kajian ulang atas izin-izin lama di lahan gambut. "Tidak ada izin baru gambut, segera lakukan restorasi. Sudah harus keras kita. Gambut yang belum dibuka, tidak boleh dibuka," tegas Jokowi. Lahan marjinal Tak bisa dipungkiri, belakangan ini alih konversi lahan menjadi kawasan perkebunan terus meningkat. Fenomena ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat, salah satunya di bidang perkebunan. Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil. Indonesia sendiri memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Maraknya alih konversi lahan menjadi kawasan perkebunan inilah yang memicu terjadinya kebakaran hutan di Indonesia hampir setiap tahun. Dimana dalam skala luas telah terjadi sejak tahun 1982/1983 yang telah memusnahkan 2,4-3,6 juta ha hutan di Kalimantan Timur. Sejak itu kebakaran hutan terjadi terus dengan interval waktu tahun 1987, 1991, 1994, 1997/1998, 2000, 2002, 2005, 2006 dan 2013. Peristiwa kebakaran 95% selalu dipicu oleh adanya pembakaran. Dan sebagian dari kebakaran terjadi di hutan rawa gambut.
Api kebakaran di lahan gambut memiliki karakteristik selain dapat menghasilkan api tajuk dan permukaan, juga dapat menimbulkan api bawah tanah gambut yang menghasilkan asap tebal sehingga banyak merugikan berbagai pihak. Walaupun kebakaran hutan ini sudah sering terjadi, namun selalu saja terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Seolah-olah tidak ada upaya penyelesaian dari permasalahan yang berulang-ulang ini. Mungkinkah penghentian penerbitan izin penanaman di lahan gambut menjadi solusi? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri