Cegah Konflik Agraria, Pemerintah akan Revitalisasi Pemukiman yang Masuk Kawasan IKN



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Tata Ruang dan Penanganan Bencana Kementerian PPN/Bappenas Sumedi Andono Mulyo menuturkan, pembangunan di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) hanya dilakukan di lahan yang sudah clean and clear.

Pemerintah memastikan tidak akan ada pengambilan atau pengelolaan secara paksa lahan yang akan digunakan sebagai proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).

"Kalau belum itu pasti proses pengadaan akan dilakukan dengan segera dengan proses sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Sumedi dalam Konsultasi Publik aturan pelaksanaan UU IKN, Rabu (23/3).


Ibu Kota Nusantara (IKN) terdiri dari beberapa zonasi, salah satunya ialah Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Apabila dalam pembangunan KIPP terdapat satu wilayah masyarakat yang masuk ke zonasi.

Kemudian hasil dialog memutuskan masyarakat tidak mau pindah, maka guna menghindari konflik agraria pemerintah akan menempuh jalan revitalisasi.

Baca Juga: Pemerintah Pastikan Tak Ada Pengambilan Lahan Secara Paksa di Proyek IKN

"Kalau masyarakat tidak mau pindah ya nanti dengan konsep revitalisasi pemukiman dengan catatan pengembangan kawasan yang disebut smart village dengan standar kehidupan yang lebih baik itu kita berharap mencegah terjadinya konflik agraria," jelasnya.

Namun Sumedi menegaskan yang perlu diwaspadai ialah munculnya oknum yang menimbulkan spekulasi-spekulasi di wilayah IKN. Maka guna mencegah munculnya oknum tersebut pemerintah meminta andil masyarakat, tokoh adat untuk ikut mencegahnya.

Kepala Biro Hukum Kementerian ATR/BPN Joko Subagyo mengatakan, untuk tanah yang masuk KIPP terpaksa akan dilakukan pembebasan.  Namun, perolehan tanah atau penataan tanah di IKN ditegaskan tidak boleh dan secara prinsip harus memberikan perlindungan kepada hak-hak individu ataupun hak komunal masyarakat adat.

"Kalau terpaksa pembebasan akan dibangun pembangunan untuk kepentingan umum tapi kalau ternyata ada pemukiman yang rapi tapi masuk dalam zona inti maka untuk perumahan itu akan dipertahankan jadi tidak semuanya akan dibebaskan. Atau warga masyarakat dikeluarkan dari wilayah kawasan ini nggak seperti itu," tegas Joko.

Sofyan Nur dari Lembaga Adat Paser menyampaikan, di wilayah ibukota negara terutama di kawasan kawasan inti pemerintahan sudah ada pemberian patok-patok yang menandakan menjadi batas administrasi dari kawasan inti.

Padahal, di dalam ruang lingkup tersebut berbatasan dengan hak guna usaha kehutanan dan masyarakat yang mendiami di sana. Adanya patok penanda itu disampaikan membuat keresahan pada masyarakat.

Baca Juga: Kementrian PUPR: Fokus pembangunan IKN dengan Prinsip OPOR

"Kami ini yang menjadi timbul permasalahan pertama memang kami berpikir untuk berpikir positif itu adalah batas administrasi dan penandaan. Dan selanjutnya ada diskusi atau dialog bagaimana terhadap kawasan yang masuk dalam masyarakat tadi. Masyarakat juga ingin hidup berdampingan dengan kawasan inti tinggal pengaturnya pengolahan seperti apa itu mungkin bisa didialogkan," ungkapnya.

Selain itu, Sofyan juga mengusulkan agar nilai penggantian tanah atau lahan masyarakat yang akan digunakan untuk IKN jangan sampai merugikan masyarakat.

"Contoh kalau negara membeli tanah saya 1 sampai 2 hektar, saya kan pindah ke tempat lain itu mungkin sudah jauh berubah nilainya. Jadi kasarnya bukan ganti rugi tapi kita maunya ganti untung, ini yang jadi catatan terpenting," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi