KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mata uang rupiah masih tertekan penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini tak terlepas bahwa pergerakan rupiah masih dibayangi sentimen negatif akibat ekspektasi suku bunga tinggi. Hal itu terlihat bahwa rupiah spot ditutup menguat tipis 0,03% ke Rp 15.613 per dolar AS pada Jumat (6/10). Sedangkan kurs rupiah Jisdor melemah 0,17% ke Rp 15.628 per dolar AS. Selama sepekan ini, rupiah di pasar spot ambles 0,99%. Demikian juga, rupiah Jisdor turun 0,91% dalam sepekan dari posisi Rp 15.487 per dolar AS pada Jumat (29/9).
Budi Frensidy, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, mengatakan, kinerja sejumlah emiten dengan utang dalam bentuk dolar AS akan terdampak negatif akibat pelemahan rupiah.
Baca Juga: Pelemahan Rupiah Berdampak pada Kinerja Emiten di LQ45, Simak Rekomendasi Analis Ada beberapa emiten dengan utang dolar AS yang cukup besar yang tercermin dari laporan kinerja keuangan emiten per semester I 2023. “Dari sektor properti, ada PT Agung Podomoro Land Tbk (
APLN), PT Lippo Karawaci Tbk (
LPKR), PT Alam Sutera Realty Tbk (
ASRI), dan PT Pakuwon Jati Tbk (
PWON),” ujarnya kepada Kontan, Minggu (8/10). Melansir keterbukaan informasi BEI, Minggu (8/10), APLN menerbitkan Senior Notes Tahun 2017 sebesar US$ 300 miliar melalui entitas anak perusahaan pada tanggal 2 Juni 2017. Obligasi itu memiliki tingkat bunga tetap 5,95% per tahun yang terutang setiap 6 bulan dan jatuh tempo pada 2 Juni 2024. LPKR memiliki utang obligasi per 30 Juni 2023 senilai Rp6,4 triliun. ASRI memiliki utang obligasi dalam dolar AS yang jika dirupiahkan sebesar Rp 3,68 triliun.
PWON memiliki utang usaha kepada pihak ketiga dalam dolar AS yang jika dirupiahkan senilai Rp1,3 triliun per 30 Juni 2023. “Dari sektor telekomunikasi, ada PT Telkom Indonesia Tbk (
TLKM), PT Indosat Tbk (
ISAT), dan PT XL Axiata Tbk (
EXCL),” ungkap Budi.
Baca Juga: Saham-Saham yang Terdampak Pelemahan Rupiah dan Rekomendasi Analis TLKM memiliki utang dalam dolar AS hingga semester I 2023 ini yang jika dirupiahkan Rp 2,15 triliun. ISAT memiliki komitmen kontraktual atas pembelian barang modal sebesar US$ 3.990 dan Rp9,61 triliun dengan jumlah barang dan jasa yang belum diterima sebesar US$ 2.586 dan Rp 5,06 triliun. Utang usaha EXCL dalam dolar AS jika dirupiahkan sebesar Rp 36,19 triliun per semester I 2023. “Selain itu, emiten yang bergantung pada bahan baku impor juga akan terganggu kinerjanya, seperti emiten dari sektor farmasi dan konsumer,” ungkap Budi. Dari sektor farmasi, ada PT Phapros Tbk (
PEHA), PT Kimia Farma Tbk (
KAEF), dan PT Indofarma Tbk (
INAF) yang kinerjanya bisa terdampak akibat pelemahan rupiah. Lalu dari sektor konsumer ada PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Unilever Indonesia Tbk (
UNVR), dan PT Mayora Indah Tbk (
MYOR). ICBP memiliki utang obligasi per 30 Juni 2023 dalam dolar AS yang jika dirupiahkan senilai Rp41,32 triliun. ICBP juga punya utang usaha dalam dolar AS senilai US$13,5 juta atau Rp 203 miliar.
Baca Juga: Pergerakan IHSG Jumat (6/10) Akan Disetir Data Tenaga Kerja AS Emiten manufaktur, seperti PT Gajah Tunggal Tbk (
GJTL) juga akan terdampak, mengingat emiten itu memiliki utang usaha dalam dolar AS yang jika dirupiahkan sebesar Rp669,23 miliar dan utang obligasi Rp2,55 triliun. “Akibatnya, kinerja mereka di kuartal III dan kuartal IV nanti sangat mungkin akan turun dibandingkan dengan kinerja semester I 2023,” ungkapnya. Namun, kata Budi, ada juga emiten yang diuntungkan dari pelemahan rupiah, yaitu emiten yang berorientasi pada penjualan ekspor, seperti emiten sawit. Emiten yang punya deposito dolar AS dalam jumlah besar juga akan diuntungkan, seperti PT Tempo Scan Pacific Tbk (
TSPC). “Namun, tekanan ke IHSG lebih besar daripada berita positif, karena faktor kurs rupiah yang melemah dan naiknya harga minyak dunia,” paparnya. Budi melihat, emiten tambang juga tidak akan terdampak negatif dari pelemahan rupiah, meskipun mereka memiliki liabilitas dalam bentuk dolar AS.
Baca Juga: Sambut Akhir Tahun 2023, Sejumlah Saham Ini Layak Dilirik Sebab, jumlah produksi emiten tambang tengah meningkat dan kurs dolar AS naik, meskipun harga komoditas saat ini lebih rendah dibandingkan akhir tahun 2022 dan awal tahun 2023. “Utang dalam bentuk dolar AS bagi emiten tambang tidak akan bermasalah, karena penjualan mereka juga dalam dolar AS, sehingga ada natural hedging,” ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli