KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2025 diharapkan menjadi tahun yang menarik, dengan berbagai peluang dan tantangan bagi ekonomi global dan pasar modal Indonesia. Dengan dukungan dari sentimen penurunan suku bunga, pemulihan daya beli masyarakat, dan meningkatnya kepercayaan bisnis, emiten-emiten unggulan di sektor-sektor strategis diharapkan mampu mencatat pertumbuhan yang signifikan melalui langkah-langkah ekspansi yang tepat. Community Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Angga Septianus melihat tren penurunan suku bunga yang diperkirakan akan dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) dan Bank Indonesia (BI) diyakini dapat menjadi katalis utama pemulihan ekonomi Indonesia pada tahun 2025.
"Dengan tren suku bunga yang akan turun oleh the Fed dan disusul oleh BI, harapannya
confidence dari
customer dan bisnis juga dapat mengalami kenaikan," kata Angga kepada Kontan, Kamis (12/12).
Baca Juga: Begini Prediksi Arah IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Senin (16/12) Selain itu, Purchasing Managers' Index (PMI) diharapkan kembali mencapai level ekspansif, yakni di atas 50, seiring dengan tren penurunan suku bunga dan potensi peningkatan konsumsi domestik. "Ini menjadi tanda bahwa emiten-emiten terutama manufaktur melakukan ekspansi," jelas Angga. Menurutnya, sektor emiten yang bakal ekspansi secara agresif pada tahun depan ialah manufaktur, otomotif, serta konsumer barang konsumsi dan ritel. Selain itu, Angga juga menyebut bahwa sektor energi, khususnya batu bara, sangat bergantung pada perkembangan ekonomi China. Jika ekonomi China kembali mengalami ekspansi, hal ini dapat mendorong peningkatan permintaan batu bara global dan berpotensi mendongkrak harga batu bara dunia. Angga merekomendasikan untuk memperhatikan saham PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES), PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), PT Astra International Tbk (ASII), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF). Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengatakan beberapa faktor utama akan memengaruhi kondisi pasar, mulai dari inflasi, suku bunga, kebijakan Donald Trump dan situasi geopolitik. Nico menjelaskan awalnya banyak pihak berharap tingkat inflasi dan suku bunga, baik di Amerika Serikat (AS) maupun Indonesia akan terus menurun. Namun, kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS menambah faktor ketidakpastian. Menurutnya kebijakan ekonomi Trump berpotensi memperlambat penurunan inflasi atau bahkan mendorong kenaikan di beberapa sektor. "Kebijakan Trump juga membuka peluang terjadinya divergensi kebijakan moneter. Jika sebelumnya penurunan suku bunga The Fed biasanya diikuti oleh penurunan BI Rate, kali ini mungkin tidak akan demikian," ucap Nico kepada Kontan, Kamis (12/12). Apalagi dengan nilai tukar rupiah yang mendekati Rp 16.000 per dolar AS belakangan ini berpotensi memberi tambahan tekanan terhadap kebijakan moneter di Indonesia. "Ini menjadi salah satu perhatian perusahaan-perusahaan yang khususnya ingin melakukan ekspansi," kata Nico.
Baca Juga: Saham-Saham yang Banyak Dipungut Asing Saat IHSG Lanjutkan Koreksi, Jumat (13/12) Di tengah tantangan global, Nico tetap optimistis terhadap prospek pasar modal Indonesia di tahun depan. Ia memprediksi ada peningkatan aktivitas pendanaan melalui penawaran umum perdana (IPO) saham, aksi korporasi, hingga penerbitan obligasi. Selain itu, Nico juga mengidentifikasi beberapa sektor yang diprediksi akan berkembang pesat di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Kebijakan Prabowo yang mendukung penyediaan makanan bergizi gratis akan menjadi katalis positif bagi sektor makanan dan minuman atau konsumer, seperti ICBP, INDF dan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT). Tak hanya itu, sektor properti, perbankan dan otomotif juga diperkirakan mendapat angin segar dari penurunan suku bunga serta insentif pajak ditanggung pemerintah (DTP). Di sisi lain, sektor energi, khususnya komoditas minyak, perlu diamati secara selektif. Saat ini, permintaan minyak global menurun karena pelemahan ekonomi di Tiongkok dan Eropa. Meski begitu, eskalasi geopolitik dapat menyebabkan lonjakan harga minyak secara tiba-tiba. Nico menjagokan saham BMRI di target harga Rp 7.900, BBCA dengan target harga Rp 12.000, AMRT pada target harga Rp 3.500, ICBP di target harga Rp 14.500 dan ASII pada target harga Rp 5.900. Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer menyampaikan ekspansi emiten akan cukup aktif di periode 2025 terutama di lini tertentu seperti teknologi informasi, kesehatan dan energi berkelanjutan. "Beberapa emiten diperkirakan akan gencar melakukan ekspansi, terutama yang berada di sektor dengan permintaan tinggi atau mendukung dan keberlanjutan khusus di sektor energi terbarukan (EBT)," ujar Miftahul kepada Kontan, Kamis (12/12).
Baca Juga: BBRI Terus Dijual Asing, Cek Saham-Saham yang Banyak Dilego pada Akhir Pekan Ini Faktor pendorong lainnya adalah kebijakan pemerintah yang semakin mendukung pertumbuhan investasi, terutama melalui insentif untuk adopsi standar ESG (Environmental, Social, and Governance). "Namun, emiten yang bergantung pada pasar ekspor mungkin lebih berhati-hati, mengingat ketidakpastian ekonomi global," terangnya. Selain itu, tren global yang berfokus pada keberlanjutan dan adopsi teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) dan keamanan siber mendorong emiten untuk berinvestasi lebih besar di area ini.
Miftahul merekomendasikan untuk
buy on weakness saham PGEO di target harga Rp 1.000 per saham dan
trading buy saham KEEN di target harga RP 665 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat