KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah OPEC+ yang kembali memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak dunia membayangi prospek kinerja emiten minyak dan gas (migas). Hal ini sejalan dengan tekanan pada harga acuan minyak mentah yang sempat merosot tajam. West Texas Intermediate (WTI) dan Brent merosot sekitar 3% pada Selasa (10/9). Harga minyak pun anjlok hingga ke level terendah sejak Desember 2021, di bawah US$ 70 per barel. Merujuk Tradingeconomics, WTI dan Brent naik sekitar 2% ke area US$ 67,2 per barel dan US$ 70,4 per barel pada Rabu (11/9).
OPEC+ kembali merevisi proyeksi pertumbuhan permintaan minyak pada tahun 2024 dari 2,11 juta barel per hari (bph) menjadi 2,03 juta bph. Selain itu, OPEC+ juga memangkas estimasi pertumbuhan permintaan minyak pada tahun 2025 dari 1,78 juta bph menjadi 1,74 juta bph.
Baca Juga: Harga Minyak Naik Kembali, Penurunan Stok AS dan Badai Picu Kekhawatiran Pasokan Research Analyst Phintraco Sekuritas Arsita Budi Rizqi mengamati beberapa pekan terakhir pergerakan harga migas cukup tertekan seiring kekhawatiran pertumbuhan permintaan. Penundaan OPEC+ untuk meningkatkan produksi mulai Oktober hingga Desember tidak cukup menahan momentum perlambatan harga. Pemangkasan proyeksi oleh OPEC+ mengindikasikan bahwa permintaan minyak cenderung stagnan, meskipun telah melakukan pemangkasan produksi minyak. Salah satu yang menjadi faktor penting adalah melemahnya permintaan dari China, sejalan dengan meningkatnya motor listrik. Hal lain yang cenderung menekan konsumsi minyak di China adalah masih lemahnya aktivitas ekonomi serta stimulus fiskal yang belum efektif, sehingga berdampak pada infrastruktur dan manufaktur. "Apabila demand melemah berpotensi menekan harga minyak lebih dalam," kata Arsita kepada Kontan.co.id, Rabu (11/9). Head of Retail Research Sinarmas Sekuritas Ike Widiawati menambahkan, pelemahan ekonomi di beberapa negara turut memengaruhi tingkat permintaan minyak. Dari sisi
supply, kompetisi antara OPEC dan negara di luar OPEC dalam hal produksi semakin menekan prospek harga minyak. Jika berlanjut, kondisi ini bakal berdampak terhadap prospek kinerja emiten di sektor migas. ”Apabila harga komoditas minyak melemah, maka akan mempengaruhi
average selling price,“ kata Ike. Catatan Ike, emiten yang telah memiliki kontrak penjualan akan lebih punya daya tahan terhadap penurunan harga komoditas migas.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Naik 1% Rabu (11/9) Siang, Brent ke US$70,29 dan WTI ke US$66,86 "Ini akan melindungi dari sisi
revenue mereka agar tidak terlalu anjlok," imbuhnya. Investment Analyst Stockbit, Hendriko Gani menimpali, sejumlah emiten produsen migas di Indonesia mayoritas memproduksi gas, yang dijual dengan skema kontrak jangka panjang (
fixed price). Hendriko kemudian melihat emiten di bidang jasa hulu migas masih berpeluang untuk tumbuh. "Apalagi, kebutuhan gas alam juga berpotensi semakin tinggi sebagai energi transisi menuju energi bersih. Sementara untuk sektor
downstream saya cenderung netral," ujar Hendriko. Analis Stocknow.id Muhammad Thoriq Fadilla menambahkan, selain kontrak jangka panjang, emiten yang punya diversifikasi bisnis akan lebih terlindungi dari fluktuasi jangka pendek harga minyak mentah. Dia menyarankan pelaku pasar tetap mewaspadai tekanan pada kinerja emiten migas dari kondisi pasar dan harga komoditas saat ini. "Fokus pada emiten dengan fundamental kuat, neraca sehat, dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan pasar. Termasuk dengan diversifikasi dan ada peningkatan efisiensi operasional," ujar Thoriq. Analis BCA Sekuritas, Achmad Yaki sepakat pelaku pasar perlu waspada terhadap potensi tekanan kinerja emiten migas pada semester II-2024. Jika rata-rata harga minyak masih di bawah level US$ 80 - US$ 82 per barel, maka performa emiten akan cenderung stagnan, bahkan melandai. Yaki menyoroti perkembangan tensi geopolitik serta efek dari pemilihan presiden di Amerika Serikat yang turut menjadi sentimen pergerakan harga minyak dunia. Sebagai strategi investasi, Yaki menyarankan untuk
wait and see terlebih dulu. Jika ingin koleksi, bisa menerapkan strategi
buy on weakness pada area support. Yaki merekomendasikan
trading buy saham PT Medco Energi Internasional Tbk (
MEDC), PT Elnusa Tbk (
ELSA), dan PT AKR Corporindo Tbk (
AKRA). Target harga masing-masing di Rp 1.500, Rp 490 dan Rp 1.630. Rekomendasi lainnya,
hold PT Perusahaan Gas Negara Tbk (
PGAS) dengan target di Rp 1.635. Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer juga menyarankan untuk
wait and see terlebih dulu pada saham-saham migas.
Baca Juga: Emiten Komoditas Dikepung Sentimen Negatif, Simak Prospek dan Rekomendasi Sahamnya Miftahul mengingatkan agar lebih selektif dengan memilih saham migas yang punya kinerja dan valuasi cukup menarik. Pelaku pasar bisa memperhatikan saham MEDC, hanya saja perlu menunggu momentum teknikal yang tepat untuk mulai mengoleksi. Secara teknikal, Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menyarankan
buy on weakness saham MEDC. Perhatikan support di Rp 1.040 dan resistance Rp 1.255 untuk target harga Rp 1.325 - Rp 1.400. Kemudian,
speculative buy AKRA dengan target Rp 1.520 - Rp 1.580 dan ELSA untuk target Rp 492 - Rp 510. Dalam risetnya, Analis RHB Sekuritas Indonesia Arandi Pradana dan Muhammad Wafi menyematkan rekomendasi
buy untuk saham
AKRA,
ELSA dan
MEDC dengan target harga masing-masing di Rp 1.950, Rp 650 dan Rp 1.900.
Sedangkan Ike menjagokan saham
ELSA yang memiliki fundamental dan valuasi menarik, dengan target harga 12 bulan pada level Rp 630. Sementara itu, Thoriq menjagokan saham
PGAS dan
ELSA. Rekomendasi untuk
PGAS adalah
speculative buy pada Rp 1.450 - Rp 1.480 untuk target harga Rp 1.555. Kemudian,
buy on weakness ELSA pada harga Rp 466 untuk target harga Rp 488 per saham. Sementara Arsita menyarankan
wait and see untuk saham
MEDC,
ELSA dan PT Wintermar Offshore Marine Tbk (
WINS). Secara teknikal, bisa memanfaatkan momentum
buy on support saham
PGAS pada Rp 1.475 untuk target harga Rp 1.550, dan
stop loss jika melemah ke bawah Rp 1.450. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi