Celah pengampunan terpidana pajak



JAKARTA. Seretnya penerimaan negara dan alotnya pembahasan RUU Pengampunan Pajak atau tax amnesty membuat pemerintah mengambil jalan cepat. Pada 8 April 2016 lalu, pemerintah menerbitkan aturan baru tentang tata cara penghentian penyidikan pidana pajak.

Lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 55 Tahun 2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara, Kementerian Keuangan membuka peluang bagi wajib pajak yang dalam proses penyidikan pidana pajak untuk mengajukan permohonan penghentian penyidikan kepada menteri keuangan.

Syaratnya: pertama, sebelum mengajukan permohonan penghentian, wajib pajak harus melunasi pajak yang selama ini tidak dibayar atau kurang bayar. Kedua, nilai yang harus ditambah dengan sanksi denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang bayar.


Ketiga, jika permohonannya diterima oleh menteri keuangan, surat keputusan penghentian penyidikan akan dikeluarkan Jaksa Agung. Adapun, mereka yang bisa mengajukan penghentian penyidikan adalah wajib pajak pribadi dan badan, kuasa wajib pajak serta pihak yang turut serta maupun yang membantu tindak pidana pajak.

Menilik isi beleid ini, penghentian proses penyidikan dan proses pidana pajak ini dapat menjadi jalan keluar bagi para terpidana pajak untuk terbebas dari masalah pajak. Maklum, dalam beleid tax amnesty, mereka yang sedang dalam proses pidana pajak, tidak bisa diampuni.

Catatan KONTAN, saat ini pidana pajak masih diikuti oleh Asian Agri yang masih dalam proses banding di pengadilan pajak. Sebelumnya Mahkamah Agung menyatakan Asian Agri dan belasan anak usahanya memiliki tunggakan utang pajak Rp 1,25 triliun selama periode 2002-2006.

Sayangnya, General Manager Asian Agri Freddy Widjaya tidak menjawab pesan dan telepon KONTAN seputar pemanfaatan fasilitas penghentian penyidikan pajak ini.

Selain Asian Agri, pengusaha Harry Tanoe juga terbelit dengan masalah pidana pajak. Yakni soal penarikan pajak atau restitusi yang diduga fiktif dalam transaksi di Mobile8. Kasus yang dinilai merugikan negara Rp 10 miliar ini kini masih dalam penanganan Kejaksaan Agung, belum masuk di pengadilan.

Tak heran aturan ini mendapat sorotan. Salah satunya dari anggota Komisi XI DPR dari fraksi DPI-P Andreas Eddy Susetyo. Menurutnya, jika aturan itu bertujuan sebagai tax amnesty mini atau pendahuluan tax amnesty, sebaiknya pemerintah berhati-hati.

“Pengampunan pidana pajak harus menunggu terbitnya aturan tax amnesty,” ujarnya, Rabu (14/4).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Mekar Satria Utama menampik jika PMK ini disebut sebagai pendahuluan sebelum adanya UU Pengampunan Pajak. “Tidak ada hubungannya karena wajib pajak yang sudah masuk pengadilan, tidak bisa ikut tax amnesty,” katanya.

Menurut Mekar, peraturan menteri keuangan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses dalam melakukan tindakan penyidikan. Sederhananya: wajib pajak yang mengakui kesalahan dan mau membayar utang pajaknya, pemerintah mempermudah prosesnya.

Salah satu kemudahan, kata Mekar adalah wajib pajak yang meminta penghentian pidana pajak bisa langsung membayar pajak sekaligus denda langsung ke rekening direktorat jenderal jenderal pajak. “Dalam aturan sebelumnya, harus ada pembuatan jaminan escrow account,” kata Mekar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie