KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menghadapi tantangan besar dengan jatuh temponya utang sebesar Rp 800 triliun pada tahun 2025. Para ekonom menilai bahwa pembayaran utang ini harus menjadi prioritas utama sebelum pemerintah meluncurkan program-program baru di tahun depan. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menekankan pentingnya memperhatikan dampak dari pembayaran utang jatuh tempo yang besar terhadap ruang fiskal pemerintah.
"Jika utang jatuh temponya cukup besar, tentu pembayarannya akan memakan ruang fiskal yang signifikan, sehingga mempersempit peluang pemerintah untuk membiayai program-program baru," jelas Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (25/8).
Baca Juga: Ekonom Indef Soroti Utang Jatuh Tempo Rp 800 Triliun Bayangi Pemerintahan Prabowo Salah satu program yang disebut Bhima adalah penyediaan makan bergizi gratis. Menurutnya, sebagian dari pendanaan program ini tidak hanya berasal dari penerimaan pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), tetapi juga membutuhkan pembiayaan melalui utang baru. Selain itu, Bhima juga menyoroti bahwa situasi ini tidak hanya mempersempit ruang fiskal, tetapi juga meningkatkan beban pembayaran bunga utang. "Utang jatuh tempo mungkin masih bisa ditutup dengan penerbitan utang baru, tetapi suku bunganya kan tinggi. Suku bunga untuk SBN (Surat Berharga Negara) tenor 10 tahun pada 2025 diperkirakan mencapai 7,1%," ungkapnya. Ia menambahkan bahwa angka 7,1% tersebut diharapkan dapat menarik minat pembelian SBN. Namun, suku bunga tersebut belum memperhitungkan kemungkinan ancaman suku bunga tinggi yang mungkin masih berlanjut pada 2025, atau penurunan suku bunga di tahun 2024 yang belum terlalu signifikan.
Baca Juga: Utang Jatuh Tempo Rp 800 Triliun Bayangi Pemerintahan Prabowo, Ini Kata Kemenkeu "Pemerintah harus berhati-hati, karena ini tidak hanya berimplikasi pada ruang fiskal yang menyempit, tetapi juga pada efek
crowding out. Jika penerbitan SBN untuk menutup utang jatuh tempo terlalu besar, hal itu bisa menyedot likuiditas dari deposan perbankan, dan bahkan bank lebih cenderung memarkir dana di SBN daripada menyalurkan kredit," jelas Bhima. Ia menambahkan bahwa hal ini dapat memperlambat pertumbuhan kredit, dan sektor riil tidak akan mendapatkan likuiditas yang cukup untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Bhima juga mengkhawatirkan kemungkinan dilakukan burden sharing untuk menutup utang jatuh tempo. "
Burden sharing ini dapat menurunkan independensi Bank Indonesia, memperburuk kualitas neraca Bank Indonesia, dan bahkan menciptakan inflasi yang jauh lebih tinggi akibat peningkatan uang beredar," tuturnya.
Baca Juga: Rasio Utang Pemerintah Turun 38,68% pada Juli 2024 Bhima juga menyarankan bahwa pemerintah dapat memprioritaskan pembayaran utang jatuh tempo, tetapi program-program baru di era Prabowo harus dipilih dengan sangat selektif berdasarkan prioritas. "Selain itu, opsi lain yang bisa dipertimbangkan adalah
debt swap, yaitu pertukaran utang dengan lingkungan (
debt swap for nature) atau untuk transisi energi (
debt swap for energy transition) seperti yang dilakukan di Mesir. Ini bisa menjadi salah satu solusi agar pembayaran utang jatuh tempo tidak terlalu berat," pungkas Bhima. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto