KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Central Omega Resources (DKFT) memproyeksikan penjualan di tahun ini mencapai Rp 810 miliar atau turun sekitar 41% dibandingkan realisasi penjualan di 2021 yang senilai Rp 1,39 triliun. Direktur Central Omega Resoruces, Andi Jaya menjelaskan pihaknya memproyeksikan volume penjualan bijih nikel di sepanjang Januari-Desember 2022 sebanyak 1.200.000 ton. Adapun proyeksi ini memakai asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar senilai Rp 15.000 dan harga nikel berdasarkan LME senilai US$ 20.000 per ton. Proyeksi volume penjualan bijih nikel ini naik 35,44% dibandingkan realisasi penjualan di 2021 yang sebanyak 886.725 ton.
“Dengan asumsi tersebut, di tahun ini kami proyeksikan penjualan mencapai Rp 810 miliar dengan beban pokok penjualan Rp 562,41 miliar, adapun di tahun ini kami dapat mencatatkan laba usaha senilai Rp 28,98 miliar,” jelasnya dalam paparan publik yang disaksikan secara virtual, Jumat (22/7).
Baca Juga: Pyridam Farma (PYFA) Berharap Mencapai Pertumbuhan Penjualan Dua Digit Tahun Ini Pada 2021 DKFT mencatatkan rugi usaha senilai Rp 341,48 miliar. Artinya, jika melihat proyeksi keuangan DKFT yang dipaparkan dalam
public expose, kinerja dari sisi laba menjadi lebih baik karena dapat mencatatkan keuntungan. Namun dari sisi penjualan, proyeksi manajemen DKFT di tahun ini justru mengalami penurunan. Di sepanjang 2021, pihaknya mencatatkan penjualan senilai Rp 1,39 triliun. Jika dibandingkan dengan proyeksi penjualan di 2022 yang senilai Rp 810 miliar maka terjadi penurunan sekitar 41% dibandingkan realisasi tahun lalu. Maklum, kinerja DKFT di tahun ini mengalami tekanan dari kenaikan harga kokas serta pasokan kokas yang seret sehingga manajemen memutuskan untuk tidak memproduksi feronikel dari
smelter blast furnace di tahun ini. Andi mengatakan bahwa upaya ini merupakan salah satu strategi untuk menjaga kinerja laba di 2022. “Salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga kokas yang cukup signifikan, tetapi ini bisa diimbangi dengan harga nikel LME. Dengan ini, seharusnya bisa
catch up,” terangnya. Andi menjelaskan, sejatinya faktor yang paling krusial yang dihadapi DKFT bukan dari harga kokas, melainkan pada pasokannya. Lebih lanjut, dia memaparkan, produsen terbesar kokas adalah di China dan selama ini DKFT selalu mengimpor kokas dari sana.
Baca Juga: Sinergi Inti Plastindo (ESIP) Lunasi Pokok Pinjaman Rp 24,5 Miliar dari BRI Sedangkan, saat ini pemakaian kokas di China sangat besar, selain untuk sumber energi
smelter blast furnace, kokas juga digunakan untuk pabrik peleburan biji besi di mana pemakaiannya sangat besar. Di sisi lain, dengan adanya kebijakan dari Pemerintah China untuk mengurangi emisi, pabrik kokas di China sebagian ditutup karena menghasilkan polusi cukup tinggi. Akhirnya,
demand kokas saat ini sedang tinggi tetapi pasokannya kurang. “Tentunya China sebagai negara, berusaha mempertahankan kebutuhan pasar lokal sehingga kokasnya susah dibeli. Dengan adanya persoalan harga yang kurang bagus dan
supply yang kurang, kami memutuskan sementara ini mengurangi kerugian dari pengoperasian pabrik yang tidak efisien,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi