KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerapan teknologi digital bagi perusahaan tambang saat ini sudah menjadi kelaziman. Apalagi sektor pertambangan memiliki tingkat risiko keselamatan yang sangat tinggi bagi para pekerjanya. Seperti yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia yang telah mengadopsi sistem digital untuk mengoperasikan tambang bawah tanah di Grasberg Timika Papua.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas menyampaikan hal ini saat berdiskusi di acara "Indonesia Digital Confrence pada Sesi Pembahasan Web 3.0 Peluang dan Tantangan Model Bisnis di Era Digital" yang digelar oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Jakarta Selasa (22/11). Tony mengakui penerapan Web 3.0 bisnis tambang memang tidak mudah. Apalagi bisnis pertambangan adalah bisnis konvensional.
Baca Juga: MIND ID Hijaukan IKN, Sumbang Ratusan Ribu Bibit Pohon "Tapi bukan berarti tidak adaptif dengan teknologi yang ada. Kalau tidak adaptif maka akan mati lebih cepat. Kami harus adaptif," katanya. Apalagi dengan mengoperasikan tambang bawah tanah maka tingkat kompleksitas industri tambang di PTFI lebih tinggi. Perusahaan yang kini 51,2% sahamnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia berlokasi di dataran tinggi yakni 4.000 meter di atas permukaan laut (Mdpl) "Ada fasilitas produksi di sana, pabrik pengolahan di ketinggian 3,000 mdpl, Kota Timika di 2.000 mdpl," katanya. Karena beroperasi di dataran tinggi, maka tingkat kecuraman lokasi tambang PT Freeport Indonesia sangat tinggi. Di sisi lain, lokasi tambang PT Freeport juga memiliki tingkat curah hujan tertinggi di dunia, "Curah hujan bisa mencapai 12.000 mm per detik," katanya. Meskipun demikian, semua risiko itu harus dikelola dengan mengutamakan tingkat keselamatan yang tinggi sekaligus menjaga efisiensi. "Sehingga kami harus adaptif dengan digitalisasi," terang Tony.
Baca Juga: Freeport Indonesia Masih Bisa Ekspor Konsetrat Tembaga Hingga Smelter Rampung Tony juga menceritakan saban hari ada lalu lintas data di PT Freeport yang harus dipantau secara intensif. Punya program expans ada 1 juta email setiap hari dan sekitar 4.500 ribuan entri data, semua harus terintegrasi," katanya. Selain itu terdapat sekitar 900 CCTV di lokasi tambang PT Freeport Indonesia yang harus dipantau secara
realtime, selain itu ada 4.700 radio yang menggunakan 15 situs radio, 959 penguat sinyal dua arah, sepanjang 169 kilometer
leaky feeder dan sebanyak 40.000
network device. Tak hanya itu PT Freeport Indonesia juga menintegrasikan sebanyak 9.200
personal computer (PC) dengan 1.100
printer, dan 360 server. Menurut Tony, selain sistem yang sudah berjalan, pada proses eksplorasi atau menemukan cadangan PT FI juga sudah melakukan dengan cara digital "Pengambilan sample di input juga secara digital. Selain itu secara
real time ada data
capture digital dan proses ore juga digital terintegrasi dengan pemantauan kegiatan dengan CCTV di sistem digital," tambahnya. Selain itu secara teknis semua kendaraan yang beroperasi di tambang PT Freeport baik kendaraan kecil yang jumlahnya mencapai 3.000an dan kendaraan besar seperti dumptruck dibekali dengan
chip. Chip ini tidak hanya memantau keberadaan dari kendaraan, tapi bisa mengetahui kecepatan mereka di area. Kalau kecepatan melebihi batas tertentu akan
alert kepada
supervisor agar bisa mengambil tindakan kepada pengemudi.
Baca Juga: Pemerintah Diminta Konsisten soal Kebijakan Larangan Ekspor Konsentrat Mineral "Di lokasi tambang PT Freeport banyak tanjakan dan turunan, sehingga posisi truk dan mobil dengan kemiringan tertentu bisa di deteksi. Pada gear berapa kendaraan bisa kami ketahui sebab perlu gear rendah agar
safety di tanjakan dan turunan, tidak bisa mengandalkan rem," kata Tony. Jika ada kendaraan yang melaju tidak sesuai aturan batas gear, dan kecepatan maka akan ada pemberitahuan langsung kepada
driver dan supervisornya. Dengan semua sistem digital inilah Tony mengklaim saat ini manajemen sudah bisa mengendalikan operasional tambang dengan
mobile lewat HP ataupun tablet. Di luar operasional tambang, ada sarana pendukung lain yang sudah dilakukan secara digital seperti adnyaa sirene kota, pemantauan debit air di danau dan sungai yang bisa dicek setiap hari realtime "Ada 10 titik dan sensor ketinggian air, dan sensor curah hujan. Lalu sensor seimik untuk mendeteksi gempa berada di 200 titik. Sensor longsor ada 50 titik ada 900 CCTV yang sebagian sudah menggunakan tenaga surya agar bisa beropreasi 24 jam," katanya.
Ongkos yang telah dikeluarkan oleh PT Feeport untuk mengadopsi sistem digital ini memang tidak murah. Pada awal PT Freeport mengeluarkan investasi untuk sistem digital ini sekitar US$ 20 juta yang terus dikembangkan hingga saat ini.
Tony menyebut adopsi teknologi dan sistem digital ini seiring dengan pembangunan tambang bawah tanah sejak 2006 silam. Salah satu hasilnya adalah pengoperasian kereta tanpa awak di tambang bawah tanah PT Freeport Indonesia. "Saat ini jaringan 5G Telkomsel sudah bisa diakses di tambang bawah tanah," katanya. Adapun nilai investasi tambang bawah tanah yang dikeluarkn oleh PTFI selama ini sekitar US$ 2 miliar - US$ 3 miliar per tahun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Syamsul Azhar