JAKARTA. Sampai Sabtu, (21/2) penerbangan maskapai Lion Air masih mengalami keterlambatan (
delay). Sebanyak empat jadwal penerbangan Lion Air di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bali, menuju sejumlah kota di Tanah Air molor. Jadwal penerbangan Lion Air itu untuk rute Jakarta dengan nomor penerbangan JT-35 yang seharusnya berangkat pukul 08.00 WITA menjadi pukul 09.30 WITA, JT-17 yang seharusnya lepas landas pukul 10.50 WITA menjadi pukul 14.00 WITA. Selain itu, JT-805 tujuan Surabaya yang seharusnya berangkat pukul 08.40 WITA molor menjadi pukul 09.50 WITA, dan JT-569 tujuan Yogyakarta yang seharusnya berangkat pukul 10.25 WITA terlambat lepas landas pada pukul 14.00 WITA.
Cerita serupa juga terjadi di jadwal penerbangan Lion Air di Bandar Udara Internasional Hang Nadim, Batam. Satu penerbangan Lion Air rute Batam-Surabaya yang mestinya terbang pukul 09.10 WIB mengalami keterlambatan. Ini semakin melengkapi keterlambatan penerbangan Lion Air sejak Rabu (18/2) kemarin. Saat tiga pesawat maskapai milik anggota dewan pertimbangan presiden (wantimpres) Rusdi Kirana itu mengalami kerusakan. Satu pesawat di Semarang rusak karena mesinnya kemasukan burung dan dua pesawat lagi di Bandara Soekarno-Hatta rute Denpasar pun tidak siap terbang. Akibat dari penundaan penerbangan tersebut, lalu berimbas kepada 21 penerbangan lainnya. “Satu rantai kita putus, maka berimbas pada rantai lainnya. Begitullah gambaran masalh ini karena adanya penundaan tiga pesawat lalu berdampak pada lainnya,” ujar Direktur Umum Lion Air Edward Sirait. Puncaknya Jumat (20/2), Lion Air akhirnya memilih membatalkan sekitar 100 jadwal penerbangan mulai pukul 17.00 WIB – 24.00 WIB. Ujung-ujungnya, ribuan penumpang Lion Air keleleran, terlantar di sejumlah bandara. Yah, keterlambatan penerbangan Lion Air sebenarnya bukan hal yang baru. Maskapai ini acap kali mengalami keterlambatan, setidaknya 20.000 kali. Berikut data Kementerian Perhubungan periode Januari-Juni 2013:
Keterlambatan | Lion Air | Garuda Indonesia | Sriwijaya Air | AirAsia | Merpati Airlines | Wings Air |
16-30 menit, faktor teknis | 27,43% | 24,44% | 30,45% | 32,45% | 14.16% | 23,07% |
31-120 menit, faktor teknis | 26,64% | 23,21% | 47,36% | 24,17% | 26,66% | 28,26% |
121-240 menit, faktor nonteknis | 1,2% | 3,26% | 5,14% | 1,05% | 3,08% | 2,78% |
Lebih 240 menit, faktor nonteknis | 0,2% | 1,05% | 0,79% | 0,82% | 2,04% | 0,45% |
Total | 20.882 kali | 10.083 kali | 7.242 kali | 6.691 kali | 5.578 kali | 5.584 kali |
Dan lagi-lagi, penumpang menjadi pihak yang paling dirugikan. Seorang balita asal Jambi gagal melakukan operasi tumor mata di sebuah rumah sakit di Yogyakarta setelah pesawat Lion Air yang akan ditumpangi bersama orang tuanya mengalami keterlambatan hingga lebih dari 20 jam. “Anak saya, Abelia Safila Putri (4 bulan) didiagnosa terkena tumor ganas pada mata sebelah kiri, kemudian mendapat rujukan untuk diperiksa dan dioperasi di sebuah rumah sakit di Yogyakarta," kata ayah kandung Abelia, Jumali. Pesawat Lion Air JT0564 yang ditumpanginya dari Jambi (19/2) dan transit di Bandara Soetta pukul 17.00 WIB. Namun, pesawatnya yang akan membawa ke Yogyakarta pukul 17.35 WIB molor sampai Jumat (20/2) pukul 12.00 WIB. Lantaran delay, jadwal operasi mata untuknya pun lewat. Terpaksa Jumali mengatur jadwal ulang operasi tumor untuk sang buah hati. Di Bandara Soetta, tepatnya di terminal 3, luapan emosi penumpang Lion Air tak terbendung. Penumpang sempat mengubrak-abrik ruang Duty Manager maskapai tersebut. Hak penumpang Lambannya penyelesaian kompensasi atas kasus
delay parah ini pun menjadi catatan tersendiri. Sebagaimana mandat Undang Undang Penerbangan no 1/ 2009 baru diberikan Jumat (20/2). Beleid itu mewajibkan maskapai memberikan kompensasi pengalihan penerbangan tanpa membayar biaya tambahan serta menyediakan konsumsi, akomodasi dan transportasi hingga tempat tujuan. Menariknya, kompensasi itu diberikan setelah PT Angkasa Pura II (AP II) menyediakan dana talangan Rp 4 miliar. "Kami memberikan talangan, karena kejadian ini memengaruhi citra bandara yang kami kelola," ujar Budi Karya, Direktur Utama PT AP II. Ini pula yang mencuatkan kabar kalau Lion Air terbelit masalah keuangan. Namun buru-buru kabar itu ditepis Edward. "Kemarin (19/2), bertepatan dengan Imlek. Kami hanya memiliki dana tunai Rp 1,5 miliar," kata dia. Sayang, Edward enggan mengungkap besaran dana kompensasi yang harus dibayar. Yang jelas, tak semua penumpang minta penggantian tiket. Pasalnya, AP II mengaku baru mengeluarkan dana Rp 526 juta atas 500 penumpang yang minta penggantian tiket. Tak menutup kemungkinan, masalah kompensasi atau
refund ini berujung ke jalur hukum. Penumpang bisa mengajukan gugatan perdata ke pengadilan jika merasa tidak puas atas kompensasi atau
refund. "Kalau masyarakat merasa kurang puas, ya silakan secara perdata diajukan gugatan sendiri. Jadi itu nggak bisa regulator yang gugat, nggak bisa," kata Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Sanksi tegas Asosiasi Agen Perjalanan dan Tur Indonesia (Asita) menilai keterlambatan penerbangan maskapai Lion Air yang terjadi menjadi citra buruk penerbangan Indonesia. "Ini citra buruk penerbangan Indonesia. Ini bakal berulang kalau pemerintah tidak tegas turun tangan," kata Wakil Ketua Asita Jakarta Rudiana. Menurut Rudiana, keterlambatan jadwal penerbangan Lion Air kali ini bukanlah yang pertama. Maskapai penerbangan tersebut bahkan disebutnya memang sudah punya citra buruk soal keterlambatan jadwal pemberangkatan. "Ini tidak boleh terjadi sampai seperti ini, sangat memalukan. Masak itu landasan pacu dipenuhi orang seperti terminal bus," katanya. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendesak Kementerian Perhubungan untuk berani memberikan sanksi kepada Lion Air karena dinilai telah menelantarkan konsumen. "Menhub Ignasius Jonan harus berani melakukan audit total terhadap performa kinerja manajemen Lion Air. Selama ini Kemenhub tampaknya tidak bernyali dan bergigi dengan maskapai besar itu," kata Tulus Abadi. Tulus mempertanyakan sikap Kementerian Perhubungan dinilai tidak berani itu apakah berkaitan dengan Presiden Direktur Lion Air Rusdi Kirana yang menjabat sebagai salah satu Wantimpres. Tulus menilai buruknya pelayanan Lion Air tidak terlepas dari lemahnya pengawasan regulator kepada operator. Sejauh ini, langkah Kementerian Perhubungan sebatas penghentian izin rute dan akan terus diberlakukan hingga ada komitmen soal standar prosedur pengoperasian (SOP) pelayanan yang baik kepada penumpang. Sembari melakukan investigasi kasus delay parah untuk menentukan sanksi yang akan dijatuhkan. Merujuk apa yang telah diatur oleh undang-undang, seperti standar pelayanan minimum dalam hal ini Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2015 Tentang Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. "Kalau itu melanggar, kita temukan ya kita kenakan sanksi, denda, surat peringatan dan sebagainya. Kita sudah buat standar pelayanan itu, itu saja yang harus diikuti semua operator," katanya. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Suprasetyo menjelaskan, pemerintah tidak bisa melakukan pencabutan izin, karena permasalahan yang dihadapi Lion Air murni terkait pelayanan. "Pak menteri bilang, Kemenhub tidak bisa kasih sanksi pembekuan. Kalau dicabut AOC (izin terbang), memang Lion salah apa? Kalau gara gara delay yang berlarut, tidak bisa sampai mencabut izin," ujar Suprasetyo. Tak ada pilihan Lion Air hadir sebagai maskapai penerbangan bertarif rendah dan maskapai swasta terbesar di Indonesia. Berdiri tahun 1999, Lion Air mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pada bulan Maret 2013, Lion Air dan Airbus menandatangani kontrak US$24 miliar untuk pemesanan pesawat komersial terbesar dalam sejarah yakni 234 uni A320. Pemesanan kedua terbesar juga dibuat oleh Lion Air tahun 2011 dengan nilai US$22,4 miliar untuk 203 pesawa Boeing 737. Sebagaimana laporan lembaga riset industri penerbangan,
Centre For Aviation, pada tahun lalu, Lion menjadi maskapai yang spesial, karena punya kapasitas angkut paling besar di antara maskapai lain di kawasan Asia Tenggara. Tengok saja, kapasitas angkut Lion Air : 1.058.000, Garuda Indonesia: 557.922 AirAsia: 543.240, Malaysia Airlines: 524.369, Thai Airways : 493.138 Singapore Airlines: 473.605, Vietnam Airlines : 407.767, Cebu pacific Airlines : 377.201, dan Thai Airasia :281.520. Mengutip pernyataan sang pendiri Rusdi Kirana dalam wawancaranya dengan wartawati majalah
Angkasa, Reni Rohmawati dan petikan wawancara ini pernah dimuat di majalah
Intisari edisi Desember 2013 dengan judul “Rusdi Kirana: Sosok Misteri-Who Makes People Fly”. Rusdi tampaknya paham betul, maskapai miliknya ini kerap sekali berurusan dengan masalah pelayanan. Terlepas dari hal tersebut, Rusdi menuturkan, dirinya telah membuat di Indonesia orang bisa bepergian dengan murah. “Kalau seandainya orang suka atau tidak suka, itu subyektif. Yang obyektif adalah
how they can build an airport to buy the ticket that pays and brings to any destination,” ujarnya.
Dirinya pun tak sungkan jika maskapainya disebut yang terburuk. Tetapi bagaimana pun juga, Lion Air tetap saja dicari. "Airlines saya adalah yang terburuk di dunia.
My airlines is the worst in the world, but you have no choice. Makanya, ada yang bilang, Lion Air dibenci, tapi dirindu," tuturnya. Tapi alangkah bijaknya, maskapai sebesar Lion Air mulai memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanannya. Kasus
delay parah selama empat hari ini setidaknya bisa menjadi pelajarannya. Toh, konsumen Indonesia pun lambat laun mulai memahami pentingnya pelayanan dan tak sungkan mengeluarkan kocek lebih demi pelayanan maksimal.
Lie On Air, plesetan dari Lion yang ramai di media sosial saat ini tak lagi dimaknai sebatas membenci. Tetapi lebih dari itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto