Cerita kelam korban kejahatan perang Sri Lanka



KONTAN.CO.ID - LONDON. Salah seorang pria yang disiksa di Sri Lanka menceritakan, dirinya ditahan selama 21 hari dalam sebuah kamar kecil di mana dia diperkosa sebanyak 12 kali, disundut dengan rokok, hingga dipukul dengan batang besi.

Seorang korban lain mendeskripsikan, dia diculik dari rumahnya oleh lima orang, dibawa ke penjara, dan dimasukkan ke dalam 'ruang penyiksaan' yang sudah berisikan peralatan tali, batang besi, dan seember air. Dia juga melihat banyak sekali cipratan darah di dinding.

Pria ketiga mendeskripsikan penjara tersebut sebagai kamar yang penuh dengan teriakan. "Hal itu membuat kami sangat takut pada hari pertama, namun kami mulai terbiasa karena kami sering mendengar teriakan terus menerus," ceritanya.

Diperkosa, disiksa dan dipukul berkali-kali. Hal inilah yang dialami oleh lebih dari 50 pria dari etnik minoritas Tamil yang saat ini tengah mencari suaka perlindungan di Eropa. Mereka mengatakan diculik dan disiksa oleh pemerintah Sri Lanka yang saat ini berkuasa.

Satu per satu, para korban tersebut setuju menceritakan pengalaman buruk mereka kepada Associated Press. Jika dilihat, tubuh mereka dipenuhi luka di kaki, dada, dan belakang. AP mereview 32 catatan medis dan evaluasi psikologi serta mewawancarai 20 orang korban. Para korban bercerita, mereka dituduh membentuk kelompok pemberontak dari pihak perang sipil yang kalah.

Meskipun perang tersebut sudah berakhir delapan tahun lalu, penyiksaan dan kekerasan masih terjadi dari awal 2016 hingga Juli tahun ini.

Pemerintah Sri Lanka membantah tuduhan ini.

Piers Pigou, investigator hak asasi manusia dari Afrika Selatan yang mewawancarai para korban mengatakan brutalitas yang terjadi tidak pernah dia dengar sebelumnya.

"Level dari penyiksaan seksual yang terjadi di Sri Lanka merupakan kejadian paling mengerikan dan sesat yang pernah saya lihat," jelas Pigou.

Kebanyakan dari pria tersebut mengatakan, mata mereka ditutup saat mereka diantar ke tempat penyiksaan. Mereka mengatakan, mayoritas dari penangkap mengidentifikasikan diri mereka sebagai anggota dari Departemen Investigasi Kriminal, unit kepolisian yang menginvestigasi kejahatan serius.

Beberapa di antaranya mengatakan, penangkap dan pihak yang menginterogasi mereka adalah tentara, yang didasarkan pada tipe seragam dan atribut yang mereka kenakan.

Dalam interview pada pekan lalu di Kolombo, Komandan Pasukan Sri Lanka Letnan Jenderal Mahesh Senanayake membantah tuduhan penyiksaan tersebut.

"Pasukan Sri Lanka tidak terlibat dan saya yakin pihak kepolisian juga tidak terlibat. Tidak ada alasan bagi kami untuk melakukannya sekarang," katanya.

Menteri pemerintah Sri Lanka yang bertanggung jawab atas kepolisian menyetujui sebuah wawancara dengan AP bulan lalu, namun tidak menindaklanjutinya.

Meskipun penyangkalannya bahwa penyiksaan yang meluas masih terus berlanjut, Sri Lanka telah berulang kali gagal untuk menyelidiki tuduhan perang yang berasal dari perang saudara yang berlangsung selama 26 tahun antara Macan Pembebasan Tamil Eelam, yang berjuang untuk sebuah tanah air yang merdeka, dan pemerintah yang didominasi orang-orang Sinhala.

Macan Tamil, sebagaimana diketahui, dijuluki sebagai organisasi teroris setelah melakukan gelombang pengeboman bunuh diri. Pasukan pemerintah dituduh menargetkan warga sipil, yang dianggap sebagai kejahatan perang di bawah hukum internasional.

Pada akhir Agustus, kelompok hak asasi manusia di Amerika Selatan mengajukan tuntutan hukum terhadap Jenderal Jagath Jayasuriya, duta besar Sri Lanka untuk Brasil dan negara-negara Amerika Selatan lainnya. Dia dituduh mengawasi unit militer yang menyerang rumah sakit dan membunuh, menyulik dan menyiksa ribuan orang di akhir perang.

Setelah kembalinya duta besar ke Sri Lanka, Presiden Maithripala Sirisena bersumpah bahwa baik Jayasuriya maupun pahlawan perang lainnya tidak akan menghadapi tuntutan - sebuah janji yang dikatakan oleh kelompok hak asasi manusia menggambarkan penolakan pemerintah untuk menginvestigasi tentaranya sendiri yang dituduh melakukan kejahatan perang.

Meski begitu, profil internasional Sri Lanka terus meningkat.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie