KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagian besar umat muslim dunia memulai ibadah puasa pada hari ini (17/5). Ada beragam pengalaman dalam menjalani hari pertama bulan puasa, terutama bagi warga Indonesia yang belum lama tinggal di luar negeri. Bagi WNI yang belum lama "merantau" ke luar negeri, tentu akan menjalani hari-hari yang tak biasa. Sebab, kondisi iklim di sana berbeda dengan di Tanah Air. Akan ada proses adaptasi, seperti dijalani Tjandra Yoga Aditama, mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan. Sudah tiga tahun dia tinggal di New Delhi, India, bertugas sebagai Senior Adviser WHO South East Asia Regional Office (SEARO) di New Delhi. Kepada KONTAN, dia menceritakan, hari ini (Kamis 17 Mei 2018) masyarakat muslim di India juga menjalani hari pertama puasa. Ini merupakan tahun ketiga dia menjalani ibadah puasa di India. Tjandra bertugas sebagai Penasihat Senior Badan Kesehatan Dunia (WHO) di New Delhi.
Tentu ada cukup banyak perbedaan dengan situasi di Tanah Air. Pertama, “end of sehri” (istilah di India untuk akhir waktu sahur) adalah jam 03:59 waktu setempat, yang pada akhir Ramadan, yakni pada 15 Juni nanti, akhir waktu sahur akan jatuh pada pukul 03:47. Sementara itu, “iftar” atau waktu berbuka hari ini adalah pukul 19:07 sore/malam. Pada akhir Ramasan nanti, yakni 15 Juni 2018, waktu berbuka jatuh pada jam 19:20. Jika dihitung, rentang waktu puasa di India lebih dari 15 jam. Artinya, rentang waktu puasa akan lebih lama dari di Tanah Air, yang kurang dari 14 jam. Memang banyak juga negara yang rentang waktu puasanya lebih lama daripada di Tanah Air. Akan tetapi di India ada masalah ke dua, yaitu badai. Hari-hari ini sedang ada badai debu “dust storm”, angin berhembus amat kencang disertai debu, dan menelan banyak korban jiwa. Berita CNN antara lain menyebutkan, India dust storms: More than 110 killed. "Kemarin beberapa pohon di dekat rumah saya juga pada bertumbangan, padahal mobil di New Delhi ini banyak yang diparkir di bawah pohon karena sebagian besar rumah tidak memiliki garasi," ungkap Tjandra. Masalah ketiga adalah panasnya cuaca. Hari pertama puasa, suhu New Delhi 41°C. Ramalan cuaca menunjukkan pada 26 Mei 2017 suhu akan mencapai 45°C, entah akan berapa derajat nanti di bulan Juni. Untungnya, kata Tjandra, pada akhir Mei ini dia akan bertugas ke Tokyo, sehingga dapat menghindari panas kota New Delhi dalam beberapa hari. Tapi ternyata ada “tantangan” lain yang akan dihadapi di Tokyo, yaitu waktu subuh di awal Juni adalah jam 02:50 waktu setempat! Jadi memang lain tempat lain tantangannya, semoga semua membuat ibadah di bulan Ramadan ini menjadi berkah, dimanapun tempatnya. Pada Mei dan Juni memang biasanya "panas amat sangat menyengat" di New Delhi. Karena panas sekali, maka pendingin ruangan laku keras, baik AC sebagaimana yang biasa kita ketahui, maupun “AC jerami” (lihat foto). Menurut Tjandra, pada dasarnya alat ini, disebut “cooler”, adalah kotak dari semacam jaringan kawat, dinding dan isinya ada lempengan jerami dan di dalamnya dimasukkan air. "Jika AC biasa sudah tidak dingin, maka kita akan ganti Freon nya, maka di “AC jerami” ini terpaksa ganti jerami," tutur Tjandra. Dalam foto yang dikirimkan ke KONTAN, Tjandra berada di "AC jerami" di Masjid Aligarh Muslim University, 130 km dari New Delhi. Di sepanjang jalan dapat ditemui orang menjual “lempengan jerami” untuk “cooler” ini. Kalau alat ini dihidupkan maka memang akan terasa sejuk, walaupun tentu tidak seperti AC, tapi suaranya bising sekali. Salah seorang mahasiswa Indonesia kandidat S3 di Jawaharlal Nehru University (JNU) menggambarkannya seperti suara helikopter.
Kebetulan pula di awal puasa ini kantor WHO SEARO pindah ke lokasi baru, dan butuh waktu 15 menit untuk jalan kaki ke masjid terdekat. "Saya sudah coba menjalani rutenya enak-enak saja, lewat toko-toko suvenir, tapi panasnya itu memang amat sangat menyengat sekali," ucap Tjandra, yang juga mantan Kepala Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementarian Kesehatan ini. Di tambah lagi, data dari “Breathelife” (WHO & UNEP) menunjukkan, kadar polusi udara di New Deli adalah 14,3 kali lebih buruk dari kadar aman, ditandai dengan kadar PM 2,5 di kota ini adalah 143 µg/m3. Sementara batas aman menurut WHO adalah hanya 10 µg/m3. Sebagai gambaran, data “Breathlife” menunjukkan kadar PM 2,5 di Jakarta adalah 45 µg/m3. PM 2,5 menunjukkan ukuran “particulate matter” (partikel di udara) sebesar 2,5, cukup kecil sehingga akan masuk langsung ke dalam paru manusia. Semoga ibadah puasa kita semua di bulan Ramadan ini mendapatkan rahmat dan berkah dari Allah SWT. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro