Cermati Prospek Kinerja Emiten Big Caps di Era Suku Bunga Rendah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sejumlah emiten berkapitalisasi pasar besar alias big caps masih banyak yang lesu sepanjang tahun ini. Di antara 20 besar emiten big caps di Bursa Efek Indonesia (BEI), ada beberapa yang mengalami penurunan harga signifikan.

Misalnya, PT Bayan Resources Tbk (BYAN) yang punya kapitatalisasi pasar (market cap) sebesar Rp 550,83 triliun. Melansir RTI pada Kamis (19/9), sahamnya sudah turun 16,96% secara year to date (YTD).

Kinerja saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dengan market cap Rp 818,42 triliun, turun 5,68% YTD. PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) yang punya market cap Rp 311,06 triliun sahamnya sudah turun 20,51% YTD.


Saham PT Astra International Tbk (ASII), yang punya market cap Rp 213,55 triliun, kinerjanya turun 6,64% YTD. Dengan market cap Rp 112,03 triliun, saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) sudah turun 10,01% YTD.

Lalu, PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) yang punya market cap Rp 99,49 triliun, sahamnya turun 34,08% YTD.

Penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) ke level 6% dan juga potensi penurunan suku bunga The Fed pun diharapkan bisa menjadi sentimen baik untuk pasar modal Tanah Air.

Baca Juga: IHSG Rekor Lagi, Intip Pergerakan Saham-Saham Big Cap Terkini

Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia, Ezaridho Ibnutama melihat, penurunan suku bunga BI bisa ikut menurunkan kredit dan menjaga konsumsi masyarakat tetap tinggi.

“Kredit yang lebih murah dapat menjaga konsumsi agar tidak turun dan menjaga deflasi tahunan tetap terkendali hingga pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto,” ujarnya dalam riset yang diterima Kontan, Rabu (18/9).

Meskipun dilihat bisa meningkatkan daya beli untuk semua jenis aset termasuk hunian, tetapi sektor perbankan harus waspada dalam menghadapi era suku bunga rendah saat ini.

Ezaridho tidak melihat pemangkas suku bunga kali ini adalah keputusan yang bijaksana. Sebab, kredit yang lebih murah dapat memperburuk kemampuan pembayaran utang konsumen Indonesia secara umum. Kemampuan konsumen dan perusahaan untuk membayar utang tersebut telah lumpuh setelah Pandemi Covid-19 serta tabungan masyarakat dan inflasi yang tak terkendali melumpuhkan daya beli konsumen.

“Hal ini dapat menghasilkan rasio loan at risk (LAR) yang lebih tinggi tahun depan,” ungkapnya.

Head of Research Kiwoom Sekuritas, Sukarno Alatas melihat, banyak faktor yang mempengaruhi penurunan kinerja masing-masing saham big caps tersebut. Salah satunya adalah kinerja mereka yang di bawah ekspektasi pasar.

“Hal itu ditambah dengan adanya ekspektasi penurunan kinerja di masa yang akan datang di tengah sentiment negatif masuknya pesaing baru,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (19/9).

Penurunan suku bunga dinilai menjadi sentimen yang positif bagi mayoritas sektor di pasar saham dan berpotensi meningkatkan kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Saham-saham big caps dan blue chips biasanya menjadi target pembelian oleh pelaku pasar, terutama investor asing.

“Jadi, saham yang laggard tersebut sangat berpeluang kinerjanya untuk bisa membaik setelah penurunan suku bunga. Sebab, secara valuasi menjadi lebih menarik juga, karena saat ini sudah turun dalam,” ungkapnya.

Kinerja keuangan para emiten big caps juga berpotensi membaik seiring dengan penurunan suku bunga. Sebagai contoh, penurunan suku bunga BI ini akan menjadi sentiment positif yang membuat permintaan kredit lebih meningkat.

“Sentimen positif itu juga bisa dirasakan oleh sektor yang memiliki utang berbunga yang sifatnya floating. Mereka diuntungkan karena jadi ada penurunan beban keuangan,” tuturnya.

Setelah penurunan suku bunga ini, investor bisa fokus pada saham-saham big caps atau yang bervaluasi lebih rendah dibandingkan perusahaan sejenisnya.

“Jika bingung filter mana saham yang menarik, investor bisa memiliih saham yang ada di dalam indeks LQ45 atau KOMPAS100,” paparnya.

Sukarno pun merekomendasikan beli untuk BBRI, ASII, dan TLKM dengan target harga masing-masing Rp 6.000 per saham, Rp 5.400 per saham, dan Rp 3.400 per saham.

Baca Juga: IHSG Rekor, Ada Saham Big Cap yang Terbang Tinggi

Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta melihat, koreksi yang dialami TLKM, ASII, dan BRPT bukan kabar buruk. Koreksi tersebut bisa dilihat sebagai diskon, sehingga masih menarik untuk dicermati oleh para investor.

Jika melihat prospek dari masing-masing emiten, kinerja BRPT berkaitan dengan dinamika geopolitik global. Jika harga minyak mengalami penurunan, hal itu pasti akan membuat biaya bahan baku bisa lebih rendah ke depan.

Kinerja ASII bergantung pada penjualan otomotif yang diharapkan bisa membaik usai penurunan suku bunga akibat meningkatnya permintaan kredit kendaraan. Sementara, kinerja TLKM berkaitan dengan peningkatan permintaan di sektor telekomunikasi, khususnya broadband internet.

“Namun, ini tetap harus didukung kondisi makroekonomi yang kondusif. Penurunan suku bunga misalnya, mampu meningkatkan likuiditas dan harga saham para emiten,” tuturnya.

Bagi para investor yang sudah mengoleksi saham-saham para emiten, disarankan untuk melakukan averaging down terlebih dulu.

“Jika prospek kinerja emiten makin bagus dan prospektif dalam jangka panjang, investor bisa lanjut pegang atau tambah. Apalagi saat ini harganya masih di bawah,” paparnya.

Nafan pun merekomendasikan accumulative buy untuk TLKM, BRPT, dan ASII dengan target harga terdekat masing-masing di Rp 3.150 per saham, Rp 1.230 per saham, dan Rp 5.475 per saham.

Selanjutnya: Pertama dalam 3,5 Tahun, China Tidak Mengimpor Emas dari Swiss pada Agustus

Menarik Dibaca: 4 Cara Mencukur Bulu Ketiak yang Benar agar Tidak Iritasi, Sudah Tahu?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih