KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga telur ayam di pasaran melambung hingga tembus ke atas Rp 30.000 per kilogram (kg). Sebaliknya, harga ayam justru anjlok yang disinyalir akibat kelebihan pasokan bibit ayam umur sehari alias Day Old Chicken (DOC). Pasar pun tampak merespons pergerakan harga produk unggas tersebut. Tengok saja empat saham emiten yang bergerak di bisnis unggas (poultry) memerah pada perdagangan Jum'at (19/8). Padahal sehari sebelumnya kompak menguat di atas 2%. Penurunan paling tajam dialami saham PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) yang harganya merosot 3,10% ke level Rp 625 per saham. Lalu, saham PT Widodo Makmur Unggas Tbk (WMUU) melemah 2,14% ke Rp 137 per saham pada Jum'at (19/8).
Selanjutnya, harga saham PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) turun 0,42% ke Rp 5.900 per saham , dan harga saham PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) melemah 0,31% ke Rp 1.610 per saham.
Baca Juga: Jelang RDG BI, Simak Proyeksi IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Senin (22/8) Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto memperkirakan, lonjakan harga telur tidak akan berdampak signifikan bagi kinerja emiten poultry. Selain porsi penjualan yang terbilang mini, harga telur dari produsen juga sebenarnya tidak banyak mengalami perubahan. "Kalau di pasar kan tergantung suplai dan permintaan. Kalau sedang langka bisa melonjak, tapi secara keuntungan bagi emiten ya segitu-gitu saja," kata Pandhu kepada Kontan.co.id, Minggu (21/8). Sebagai gambaran, dari keempat emiten di atas, hanya WMUU yang secara langsung mencantumkan keterangan penjualan telur. Jumlahnya pun tidak signifikan, yakni Rp 423,60 juta dari total penjualan neto per kuartal I 2022 yang sebesar Rp 630,51 miliar. Sedangkan mengenai anjloknya harga ayam akibat kelebihan pasokan DOC, pemerintah biasanya menyiasati dengan kebijakan culling atau pemusnahan sebagian ayam. Namun, pemerintah juga masih mencermati dampaknya sembari menjaga tingkat inflasi agar tidak terlalu tinggi. Sejauh ini, Pandhu memandang imbas penurunan harga ayam di pasaran belum signifikan bagi emiten poultry. Hanya saja, jika terus berlanjut maka kondisi ini bisa menjadi sentimen negatif. Catatan Pandhu, penurunan harga ayam saat ini masih terbilang wajar karena rata-rata harga di pasaran berkisar di level Rp 20.000 per kg. Tidak anjlok tajam seperti saat masa pandemi tahun lalu yang sempat menyentuh level Rp 10.000 per kg. "Kami melihat penurunan harga ayam ini masih dalam kategori wajar karena memang siklus bisnis sektor ini cukup fluktuatif sejak dulu," ujar Pandhu. Karakter bisnis di sektor unggas cukup fluktuatif lantaran dipengaruhi harga jual DOC, ayam broiler yang bergerak volatile, juga bahan baku pakan ternak seperti jagung dan kedelai yang banyak berasal dari impor. Alhasil, exposure terhadap nilai tukar rupiah dan harga komoditas cukup tinggi sejak tahun lalu. Meski jika dilihat dari beberapa pekan terakhir dimana harga komoditas mulai turun, Pandhu memperkirakan, ada potensi pemulihan lebih cepat pada kuartal ketiga. Dengan begitu, ada peluang bagi emiten poultry untuk mencetak pertumbuhan positif pada akhir tahun. Setelah rata-rata membukukan penurunan laba pada semester pertama 2022, meski bisa tumbuh dari sisi pendapatan. CEO Edvisor.id Praska Putrantyo menambahkan, penurunan harga komoditas unggas di pasaran bisa berdampak secara jangka pendek. Praska memprediksi, hal itu juga sudah diantisipasi oleh investor dengan penurunan saham emiten poultry sejak melambatnya kinerja keuangan di kuartal III-2021. "Saat ini dan ke depan, saham emiten unggas dan pakan ternak masih bergerak melandai dan konsolidasi, dimana investor cenderung wait and see terhadap kinerja per Q3-2022," terang Praska.
Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Emiten Pelabuhan, Mana yang Menarik? Secara fundamental, rekomendasi Praska masih netral terhadap saham poultry. Jika ingin masuk, Praska menyarankan untuk trading buy jangka pendek sembari mencermati pola harga sahamnya. Praska menilai, saham JPFA masih menarik dengan price earing ratio (PER) masih di bawah 10x, serta pola harga saham yang sudah menembus resistance di level Rp 1.550. Jika bertahan, target harga saham JPFA selanjutnya bergerak ke level Rp 1.700 per saham. Analis Fundamental B-Trade Raditya Krisna Pradana juga melihat imbas dari pergerakan harga komoditas unggas di pasaran belakangan ini akan bersifat sementara. Menurutnya, saham emiten poultry masih menarik untuk dilirik. Peluang menumbuhkan kinerja juga terbuka seiring dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi serta meningkatnya aktivitas dan belanja masyarakat seperti saat momentum Idul Fitri lalu. "Tahun ini menurut kami poultry kinerjanya bisa mengalami peningkatan," kata Raditya. Saran Raditya, saham JPFA layak dibeli dengan target harga di level Rp 1.790. Kemudian buy saham MAIN dengan target harga berada di area Rp 715 per saham. Outlook emiten poultry, menurut Pandhu, juga cenderung positif pada semester kedua ini. Prediksi dia, bisa terjadi pertumbuhan pendapatan dan laba pada kisaran 10%. Pandhu menyoroti pergerakan CPIN dan JPFA. Dalam skala 12 bulan ke depan, target harga CPIN ada di level Rp 6.300. Untuk JPFA, target harga ada di Rp 2.000 per saham.
"Rekomendasi saham CPIN cenderung hold. JPFA buy karena masih ada potensial upside yang cukup menarik," kata Pandhu. Sedangkan, Technical Analyst Binaartha Sekuritas Ivan Rosanova menyarankan agar mulai mengantisipasi jika kenaikan harga saham poultry semakin terbatas dan mulai terjadi tren turun. Mencermati hal itu, pelaku pasar pun bisa mempertimbangkan untuk sell on strength terlebih dulu.
Baca Juga: Ramai Sentimen, Simak Proyeksi IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Senin (22/8) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat