JAKARTA. PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (
ANTM) akhirnya memulai operasi komersial pabrik pengolahan bijih bauksit menjadi produk Chemical Grade Alumina (CGA). Pabrik yang berlokasi di Tayan, Kalimantan Barat ini diharapkan bisa mendongkrak pendapatan ANTM di tahun depan, terutama di tengah seretnya pelemahan kinerja
ANTM belakangan ini. Pabrik senilai US$ 490 juta ini merupakan bagian dari diversifikasi usaha
ANTM menyusul kebijakan larangan ekspor bijih mineral Indonesia. Dengan beroperasinya pabrik itu, lini komoditas olahan
ANTM pun bertambah menjadi nikel, emas, perak, batubara, dan alumina. "Ini bisa menjadi pengembangan komoditas hilir yang memberi nilai tambah," ujar Direktur Utama
ANTM, Tato Miraza, di Jakarta, Senin (9/2). Sekretaris Perusahaan
ANTM, Tri Hartono menambahkan, tahun ini pabrik CGA Tayan baru memenuhi 70% kapasitas. Kapasitas penuh baru didapatkan pada tahun 2016 mendatang.
Adapun kapasitas dari proyek CGA ini diperkirakan sebesar 300.000 ton per tahun. Rencananya dua pertiga dari produksi itu atau sebesar 200.000 ton akan diekspor ke pasar Jepang. Sementara sisanya untuk pasar domestik. Ketika kapasitas sudah terpenuhi sebesar 100% tahun depan,
ANTM bisa meraup tambahan pendapatan sebesar US$ 200 juta. "Tahun ini tentu ada tambahan pendapatan dari CGA. Namun, belum bisa dipastikan berapa karena belum kapasitas penuh," ujarnya kepada KONTAN. Pabrik CGA Tayan sudah mulai konstruksi sejak tanggal 11 April 2011. Pabrik ini memulai
fase commissioning pada tanggal 28 Oktober 2013. Setelah memasuki
fase operasi komersial, utilisasi pabrik akan ditingkatkan secara bertahap (
ramp up) untuk memastikan keselamatan dan kestabilan operasi. Proyek ini dioperasikan oleh perusahaan patungan
ANTM dengan Showa Denko K.K. (SDK) Jepang, yakni PT Indonesia Chemical Alumina (ICA).
ANTM memiliki 80% saham ICA dan sisanya digenggam SDK. Tri bilang, produk CGA ini bisa diaplikasikan untuk memproduksi bahan pendukung komponen fungsional dan komponen elektronik diantaranya
refractories,
abrasives, produk bangunan, Integrated Circuit (IC), dan bahan untuk LCD screen. "Kalau pabrik CGA beroperasi penuh memang kami harapkan pendapatan bisa puliih," ujar Tri.
ANTM memang tengah mengejar target untuk memulhkan pendapatannya. Maklum, sepanjang tahun 2014 lalu, penjualan bersih ANTM hanya sebesar Rp 9,46 triliun, turun 16% dibandingkan tahun 2013 lalu. Hal ini seiring dengan penurunan harga komoditas utama
ANTM yakni nikel dan emas. Kebijakan pemerintah melarang ekspor bijih mineral mentah juga mencederai kinerja
ANTM. Pendapatan yang turun juga membuat pendanaan
ANTM terbatas. Makanya, kini
ANTM tengah menanti kucuran dana Penyertaan Modal Negara (PMN) dari pemerintah. Dana PMN akan digunakan untuk menggarap tiga proyek
smelter ANTM yang memiliki nilai investasi hingga US$ 3,34 miliar atau sekitar Rp 40 triliun. Tiga proyek yang akan dikerjakan dari pendanaan PMN adalah Perluasan Pabrik Feronikel Pomalaa (P3FP), pembangunan fasilitas pengolahan bijih nikel menjadi feronikel di Halmahera, Maluku Utara (FeNi Haltim), dan proyek Smelter Grade Alumina (SGA) Mempawah, Kalimantan Barat. Analis Asjaya Indosurya Securities Wiliam Surya Wijaya mengatakan, CGA Tayan merupakan strategi yang cukup bagus di tengah penurunan kinerja
ANTM. Menurut William, tekanan harga komoditas memang masih akan terjadi di tahun ini. Sehingga,
ANTM perlu mencari nilai tambah dari produk lain. Apalagi,
ANTM sudah memiliki pasar sendiri untuk produk CGA. "Ini tentu akan positif dalam jangka panjang untuk penjualan
ANTM," kata dia. Analis JP Morgan Lydia J Toisuta dalam risetnya 26 January 2015 mengatakan,
ANTM memang baru akan menuai performa positif pada tahun 2016 mendatang saat target kapasitas produksinya terpenuhi. Sementara di tahun ini,
ANTM masih akan tersandera penurunan harga komoditas terutama dari nikel.
Lydia memprediksi pendapatan
ANTM di tahun ini hanya mencapai Rp 10,57 triliun. Lalu di tahun 2016, pendapatan
ANTM diharapkan bisa naik menjadi Rp 12,65 triliun. Lydia yakin, tahun ini
ANTM bisa kembali membukukan laba bersih meski mash tipis, sebesar Rp 132 miliar, dari estimasi rugi bersih di tahun 2014 sebesar Rp 394 miliar. Dengan tambahan kapasitas di tahun 2016, Lydia memperkirakan
ANTM bisa membukukan laba bersih menjadi Rp 703 miliar. William merekomendasikan Buy untuk saham
ANTM dengan target harga Rp 1.800 per saham. Namun Lydia memangkas target harga
ANTM menjadi Rp 780 per saham dengan rating Underweight. Saham
ANTM ditutup turun 0,48% ke level Rp 1.035 per saham pada perdagangan Senin (9/2). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa