JAKARTA. Ketua Umum Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Charles Saerang mengatakan, potensi penjualan produk jamu tahun ini sebesar Rp 10 triliun, naik dari Rp 8,5 triliun tahun lalu.Dia cukup optimis, karena penggunaan jamu sebagai pengobatan herbal semakin meluas. Apalagi, beberapa produsen telah melakukan diversifikasi produk jamunya menjadi permen, serta produk makanan dan minuman.Namun, Charles mengingatkan, pengaruh perdagangan bebas ASEAN-China (AC-FTA) berpotensi memangkas nilai penjualan para produsen jamu lokal. "Potensi kehilangan penjualan kita bisa mencapai Rp 4 triliun," ujar Charles, Selasa (19/1). Dengan asumsi, Rp 4 triliun berasal dari keuntungan klinik herbal asing yang kini sudah menjamur di Pulau Jawa. Jumlahnya, kata dia, sekitar 100 klinik. "Itu keuntungan mereka dari pelayanan dan obat herbal," tutur dia.Menurut dia, klinik herbal asing itu merupakan kedok untuk memasarkan obat kategori herbal asing yang tingkat perizinan edarnya amat sulit didapatkan. "Ini mungkin trik mereka masuk lewat izin klinik yang didapat dari dinas kesehatan daerah. Karena izin edar produk herbalnya sulit keluar dari BPOM," papar dia.Bahayanya, Charles bilang, potensi pertumbuhan klinik herbal asing ini per tahunnya minimal 300%. Nah, bila dibiarkan, Charles khawatir, sekitar 500 dari 3 juta pekerja jamu bakal dirumahkan tahun depan. Makanya, Charles berharap, pemerintah bisa menjalankan strategi bertahan dan menyerang. Dalam bertahan, pemerintah dapat mengenakan bea masuk dan SNI Wajib atas produk jadi herbal impor."Pengawasan BPOM juga perlu ditingkatkan. Sinergi antar instansi teknis terkait juga ditingkatkan," tutur dia. Dalam posisi menyerang, Kementerian Perdagangan dapat mempromosikan produk jamu Indonesia di pasar internasional.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Charles Saerang : Perdagangan Bebas Bisa Pangkas Penjualan Jamu
JAKARTA. Ketua Umum Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Charles Saerang mengatakan, potensi penjualan produk jamu tahun ini sebesar Rp 10 triliun, naik dari Rp 8,5 triliun tahun lalu.Dia cukup optimis, karena penggunaan jamu sebagai pengobatan herbal semakin meluas. Apalagi, beberapa produsen telah melakukan diversifikasi produk jamunya menjadi permen, serta produk makanan dan minuman.Namun, Charles mengingatkan, pengaruh perdagangan bebas ASEAN-China (AC-FTA) berpotensi memangkas nilai penjualan para produsen jamu lokal. "Potensi kehilangan penjualan kita bisa mencapai Rp 4 triliun," ujar Charles, Selasa (19/1). Dengan asumsi, Rp 4 triliun berasal dari keuntungan klinik herbal asing yang kini sudah menjamur di Pulau Jawa. Jumlahnya, kata dia, sekitar 100 klinik. "Itu keuntungan mereka dari pelayanan dan obat herbal," tutur dia.Menurut dia, klinik herbal asing itu merupakan kedok untuk memasarkan obat kategori herbal asing yang tingkat perizinan edarnya amat sulit didapatkan. "Ini mungkin trik mereka masuk lewat izin klinik yang didapat dari dinas kesehatan daerah. Karena izin edar produk herbalnya sulit keluar dari BPOM," papar dia.Bahayanya, Charles bilang, potensi pertumbuhan klinik herbal asing ini per tahunnya minimal 300%. Nah, bila dibiarkan, Charles khawatir, sekitar 500 dari 3 juta pekerja jamu bakal dirumahkan tahun depan. Makanya, Charles berharap, pemerintah bisa menjalankan strategi bertahan dan menyerang. Dalam bertahan, pemerintah dapat mengenakan bea masuk dan SNI Wajib atas produk jadi herbal impor."Pengawasan BPOM juga perlu ditingkatkan. Sinergi antar instansi teknis terkait juga ditingkatkan," tutur dia. Dalam posisi menyerang, Kementerian Perdagangan dapat mempromosikan produk jamu Indonesia di pasar internasional.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News