KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB Jakarta kembali dilakukan, terhitung mulai 14 September 2020, sampai dua minggu ke depan atau 28 September 2020. PSBB Jakarta secara ketat dilakukan seiring melesatnya jumlah positif corona atau Covid-19. Pemerintah Provinsi DKI menyebut alasan penetapan lagi PSBB Jakarta secara ketat dilakukan agar pertambahan kasus di Jakarta bisa terkendali. Selama 12 hari pertama bulan September angka positif corona di Jakarta merajalela. Menteri Keuangan tahun 2013-2014 Chatib Basri mengatakan, aktivitas orang keluar untuk berbelanja, bekerja meningkatkan jumlah kasus positif Covid-19.
“Semakin orang keluar rumah semakin tinggi kasus covid. Artinya protokol kesehatan tidak dipatuhi ketika orang keluar rumah,” tulis Chatib Basri, dalam Twitter resminya, Minggu (13/9). Menariknya, cuit Chatib, meningkatnya angka kematian ternyata tidak benar-benar membuat masyarakat tingal di rumah. Naiknya kasus kematian tak membuat orang berdiam diri di rumah. Mereka hanya akan menahan orang untuk tinggal di rumah untuk beberapa hari saja, yakni kurang dari 5 hari. “Setelah itu (5 hari) tak berdampak dan cenderung keluar lagi,” tulis Chatib Meski ada perasaan takut tertular, orang-orang terpaksa kembali keluar lantaran adanya kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi. “Semakin buruk situasi ekonomi, akan semakin membuat orang beraktivitas di luar," ujar Chatib.
Berdasarkan data Google Mobility, Chatib mendapat kesimpulan bahwa orang hanya bisa tinggal di rumah jika memiliki tabungan atau mendapat bantuan sosial. " Jika tidak ada tabungan atau perlindungan sosial orangg akan keluar rumah. Karena itu, sepertu saya katakan PSBB bias memihak kelompok menengah atas jika bansos tidak diberikan. BLT menjadi penting sekali," kata dia, Ada tiga alasan yang membuat orang memutuskan beraktivitas lagi, meski kasus positif corona atau Covid-19 terus meningkat.
Pertama, orang cenderung optimistis terhadap kemampuannya menghindari ancaman virus, atau dengan mengambil pertimbangan karena melihat orang lain tetap aman saat tidak bertahan di rumah.
Kedua, dampak atau tuntutan ekonomi. "Saya di rumah tidak bisa kerja, saya keluar mungkin kena virus, mungkin juga tidak. Lebih baik saya keluar," ujarnya.
Ketiga yakni habit atau kebiasaan manusia sebagai makhluk sosial. “Kasus kematian membuat orang takut dalam beberapa hari tapi setelah itu habit akan kembali,” ujar dia. Hingga saat ini, masih banyak orang yang tidak dapat melakukan pekerjaan dari rumah. Apalagi, pekerja di sektor-sektor informal yang menggantungkan penghasilan harian. Mereka antara lain: para pedagang pasar, tukang ojek, buruh cuci hingga supir angkot. Mereka tetap harus keluar rumah untuk mencari penghasilkan, sekalipun PSBB ketat dilakukan. Seperti kata Chatib, kelompok masyarakat ini bisa berdiam diri di rumah jika ada jaminan perlindungan sosial dari pemerintah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Titis Nurdiana