Chatib Basri: Produktivitas yang rendah menjadi isu penghambat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan defisit neraca perdagangan sepanjang 2018 mencapai US$ 8,75 miliar. Tergerusnya surplus di sektor non-migas ditambah defisit non-migas yang melebar menjadi penyebab utamanya.

Secara nominal, defisit migas 2018 mencapai US$ 12,4 miliar, sedangkan non migas mengalami surplus US$ 3,8 miliar. Memang, melebarnya defisit perlu menjadi perhatian, namun Ekonom Chatib Basri juga menekankan pentingnya menaruh perhatian terhadap neraca perdagangan sektor non-migas.

"Surplus non migas 2017 adalah US$ 20,4 miliar, sedangkan pada 2018 tinggal US$ 3,8 miliar. Artinya, terjadi penurunan surplus sebesar US$ 16,6 miliar," tutur Chatib dalam analisis yang ia unggah melalui laman Facebook, Rabu (16/1).


Sementara, dalam sektor migas, kenaikan defisit yang terjadi relatif kecil yaitu US$ 3,9 miliar.

Pertumbuhan impor migas memang tercatat lebih besar dari non migas, tapi di sisi lain, pertumbuhan ekspornya pun masih lebih besar dibandingkan ekspor non-migas. Chatib menilai, penurunan harga komoditas yang mulai terjadi pada akhir 2018 berkontribusi terhadap menurunnya pertumbuhan ekspor non migas.

Chatib menyadari, sekitar 90% dari impor merupakan barang modal dan bahan baku. Secara konseptual, kenaikan impor ini semestinya tak begitu mengkhawatirkan karena merupakan impor barang produktif.

"Bila kita membeli bahan baku atau barang modal, misalnya untuk infrastruktur atau produksi, maka satu hari impor itu akan menghasilkan barang. Sehingga, kita tak perlu terlalu pesimistis," ujarnya.

Kendati begitu, menjadi pertanyaan bagi Chatib, yakni di tengah laju impor barang modal dan bahan baku yang melejit, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5%. Menurut mantan Menteri Keuangan ini, letak permasalahan utama Indonesia ialah pada produktivitas.

Chatib menunjukkannya melalui rasio penambahan modal dengan penambahan pengeluaran atau incremental capital output ratio (ICOR). ICOR bisa menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara.

Angka ICOR Indonesia saat ini berada di level 6,1%. Artinya, untuk menghasilkan pertambahan 1% pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan 6,1% penambahan investasi.

"Ini relatif tinggi. Artinya, untuk menghasilkan output dibutuhkan modal yang tinggi," tukas dia.

Adapun, Chatib berpendapat, kebijakan fiskal dan moneter saja tak akan mampu menjadi penggerak utama produktivitas. Peningkatan produktivitas, menurutnya, hanya bisa dilakukan dengan reformasi ekonomi di sektor riil.

Tanpa reformasi di sektor riil, misalnya terkait ketenagakerjaan dan iklim investasi, Indonesia akan terus terperangkap dalam isu stabilitas versus pertumbuhan (stability vs growth).

"ICOR 6,1%, maka untuk tumbuh 6%, dibutukan rasio investasi per PDB sebesar 36%-37%, padahal tabungan domestik per PDB hanya 32%-33%. Artinya, dengan pertumbuhaan 6%, current account deficit (CAD) akan menjadi 4%," terangnya.

Oleh karena itu, jika pemerintah memilih stabilitas perekonomian dengan fokus pada CAD, pertumbuhan ekonomi pun hanya akan sanggup tumbuh 5%-5,5%. Namun, bila memilih pertumbuhan ekonomi, pemerintah mesti menghadapi risiko melebarnya CAD yang akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah dan terganggunya pasar keuangan.

"Kita harus memutus lingkaran setan ini dengan reformasi di sektor riil, mengundang Penanaman Modal Asing (PMA/FDI), pendalaman pasar keuangan, dan menerapkan kebijakan makroprudensial, seperti tobin tax atau reverse tobin tax," tutup Chatib.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi