KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga saat ini ternyata belum juga menerima penawaran resmi untuk perpanjangan Blok Rokan yang akan habis kontrak pada 2021 mendatang. Padahal, pemerintah menargetkan sudah bisa membuat keputusan terkait perpanjangan Blok Rokan pada Juli 2018 mendatang. Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar menjelaskan pemerintah memang sudah melakukan pembicaraan terkait perpanjangan Blok Rokan dengan operator blok tersebut saat ini yaitu Chevron Pacific Indonesia (CPI). Namun hingga saat ini pemerintah belum menerima proposal resmi dari Chevron. "Masih pembicaraan, tapi belum resmi. Karena harus
official," jelas Arcandra pada Kamis (31/5).
Menurut Arcandra, pemerintah maupun Chevron sampai saat ini masih dalam diskusi dan menghitung keekonomian Blok Rokan. Sementara itu, Pertamina juga belum mengajukan proposal untuk menjadi operator di Blok Rokan. Arcandra bilang Pertamina masih melakukan open data Blok Rokan. Gunakan kontrak bagi hasil gross split Salah satu lapangan migas di Blok Rokan yaitu Lapangan Duri pada tahun ini memasuki usia ke-77 tahun. Sebagai blok tua, Blok Rokan masih masih mampu menjadi penyumbang terbesar produksi minyak nasional. Berdasarkan data SKK Migas, produksi Blok Rokan per 30 April 2018 mencapai 212.256 BOPD. Sepanjang tahun ini SKK Migas memproyeksi Blok Rokan akan mampu memproduksi minyak mencapai 204.555 BOPD. Kemampuan produksi minyak Blok Rokan yang telah uzur ini ditopang oleh teknologi
Enhanced Oil Recovery (EOR). Saat ini Chevron menggunakan teknologi injeksi uap (
steam flood) dan juga pilot project Surfactant Flooding. Kedua tekonologi EOR tersebut tidaklah murah. Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi pernah menyebut cash call atau dana operasi untuk Blok Rokan tiap tahunnya mencapai US$ 1,4 miliar. Dana tersebut belum termasuk dana investasi alias
capital expenditure (capex) yang harus dikeluarkan tiap tahun untuk mempertahankan atau meningkatkan produksi di Blok Rokan. Siapapun operator Blok Rokan pasca 2021 harus bersiap mengeluarkan kocek sendiri tanpa diganti oleh pemerintah karena pemerintah hanya menyodorkan kontrak bagi hasil gross split. Dengan skema gross split, kontraktor yang memproduksi minyak bisa mendapatkan base split sebesar 43%. Untuk Blok Rokan, penambahan split melalui variable split bisa didapat melalui penggunaan EOR. Pemerintah akan memberikan tambahan split 6% untuk tahapan produksi sekunder dengan teknologi EOR baik injeksi air dan atau gas. Tambahan split lebih besar yaitu mencapai 10% bisa didapat jika sudah memasuki tahap tersier. Jika tambahan split melalui variable split belum juga ekonomis, maka Menteri ESDM memiliki kewenangan untuk memberikan tambahan persentase split tanpa batas maksimal kepada kontraktor melalui diskresi Menteri ESDM. Arcandra menyebut pemerintah melalui Menteri ESDM memang boleh memberikan tambahan split melalui diskresi Menteri. Namun sejauh ini Arcandra bilang Chevron belum mengajukan tambahan split melalui diskresi Menteri. Kalaupun nanti Chevron mengajukan usulan tambahan split melalui diskresi Menteri, maka pemerintah akan mengevaluasi terlebih dahulu.
"Belum, belum ke saya maksudnya (usulan diskresi Menteri). Kalau dalam permennya kan boleh, tapi kan kami evaluasi dulu," pungkas Arcandra. Sementara itu, pihak Chevron masih enggan berkomentar banyak terkait perpanjangan Blok Rokan. Termasuk juga soal keekonomian dengan kontrak bagi hasil gross split. Yanto Sianipar, Senior Vice President, Policy, Government and Public Affairs Chevron Indonesia hanya mengungkapan pihaknya akan mengikuti keputusan pemerintah terkait Blok Rokan. "Kami menghormati keputusan pemerintah terhadap masa depan Rokan," ungkap Yanto. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia