China berencana longgarkan aturan pasar modal demi gaet perusahaan teknologi



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Pemerintah China sedang mempertimbangkan rencana yang memungkinkan saham perusahaan teknologi untuk melakukan pencatatan dan perdagangan di China.

Selama ini perusahaan-perusahaan berbasis teknologi seperti Tencent Holdings Ltd dan Alibaba Group melakukan penawaran perdana di bursa luar negeri, seperti di Amerika Serikat (AS) dan Hong Kong, yang meski berada di bawah kontrol pemerintah Beijing, namun bukan berada di wilayah China daratan.

Perusahaan teknologi China memang sering memilih untuk mencatatkan diri secara publik di luar negeri, kebanyakan di AS karena alasan prestise dan karena peraturan pasar modal di AS memang tidak seketat di China.


Mengutip Wall Street Journal, peraturan pasar modal di China memang tergolong ketat. Contohnya, adanya aturan sebuah perusahaan harus mencatatkan keuntungan selama tiga tahun berturut-turut sebelum diizinkan melantai di bursa. Hal ini dikatakan banyak ahli merupakan hambatan bagi perusahaan untuk mendapatkan permodalan.

Banyak perusahaan mempertimbangkan untuk mencatatkan diri di China jika pemerintah memberlakukan peraturan yang sedikit longgar. Chief Executive Officer (CEO) Tencent Holdings Ltd, Pony Ma, mengungkapkan kepada Wall Street Journal, bahwa pihaknya sejak dulu serius mempertimbangkan untuk masuk bursa China.

Hal senada juga diungkapkan Richard Liu, pendiri JD.com Inc, perusahaan e-commerce yang terdaftar di NASDAQ. "Jika pihak berwenang mengizinkan kami, tentu kami akan masuk," ujarnya kepada Wall Street Journal.

Saat ini pemerintah China sedang mendekati Xiaomi Inc, yang memiliki rencana untuk IPO di Hong Kong. Tercatat di bursa China dipandang beberapa analis merupakan hal yang masuk akal, mengingat merek Xiaomi sendiri sudah kuat di China dan kemungkinan besar bisa diperdagangkan dengan valuasi yang tinggi.

Salah satu cara yang akan diusung supaya banyak perusahaan teknologi China mau "melantai di rumah sendiri" adalah dengan membolehkan perusahaan mengeluarkan kuitansi penyimpanan (depositary receipts). Dengan cara ini, perusahaan yang didirikan di luar negeri bisa go public di China.

Namun, rencana ini bukannya tanpa kekhawatiran. Pasalnya, investor ritel China yang membeli kuitansi penyimpanan tidak memiliki hak pemegang saham penuh. Selain itu, masuknya nama-nama besar cenderung mendorong investor ritel melakukan spekulasi. Nah, investor ritel merupakan pemain yang mendominasi di pasar modal China daratan.

"Ketika suatu kebijakan didukung pemerintah, pasti banyak yang berbondong-bondong masuk. Ini dikhawatirkan akan membentuk gelembung yang bisa meledak," kata T.J. Wong, Profesor Bidang Bisnis Administrasi dan Akuntansi USC Marshall's School of Business kepada Wall Street Journal.

Editor: Sanny Cicilia