KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank sentral China atau People's Bank of China (PBoC) menggelontorkan sejumlah stimulus, mulai dari memangkas suku bunga hingga menyuntikan likuiditas di sistem perbankan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5%. Selama ini, China tertekan deflasi akibat penurunan pasar properti dan melemahnya kepercayaan konsumen. Sementara, ketergantungan China pada ekspor harus bergumul dengan ketegangan perdagangan global. Bahkan berbagai data ekonomi China beberapa bulan terakhir meleset dari perkiraan. Pada Jumat (27/9), Badan dan Statistik Nasional China mencatat terjadi kontraksi sebesar 17,8% pada laba industri di Agustus 2024.
Pemerintah China juga akan menerbitkan obligasi khusus senilai 2 triliun yuan atau setara dengan US$ 284,42 miliar di 2024. Aksi ini merupakan bagian dari stimulus fiskal baru yang akan digelontorkan.
Baca Juga: Stimulus China Tiba, Target Pertumbuhan Bakal Mudah Dikejar Di tengah banjirnya stimulus yang diberikan pemerintah China, pasar saham Indonesia juga bakal terdampak. Dalam jangka pendek, gelondongan stimulus ini akan menjadi sentimen negatif untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Head of Research Mega Capital Sekuritas Cheril Tanuwijaya mengatakan dengan kombinasi pelonggaran kebijakan dan valuasi saham indeks-indeks di China yang murah dapat menarik investor asing beralih ke China untuk jangka pendek. "Apalagi IHSG juga riskan terkoreksi karena masih berada di kisaran rekor tertinggi sepanjang masanya," katanya saat dihubungi Kontan akhir pekan lalu. Namun gelontoran stimulus yang dikeluarkan pemerintah China, dinilai masih belum sepadan dengan kondisi ekonomi di sana. Dus, Cheril bilang dalam jangka pendek memang ada terjadi potensi perpindahan dana asing dari Indonesia ke China. Dia memproyeksikan aliran dana investor asing yang keluar dari pasar Indonesia relatif terbatas. Ini mengingat data ekonomi China yang masih lemah, dibandingkan fundamental Indonesia yang lebih kokoh. "Secara perekonomian Indonesia masih lebih kuat, selain itu kami memproyeksikan Bank Indonesia (BI) juga bisa menurunkan suku bunga acuan pada RDG di Oktober mendatang," jelas Cheril. Adrian Joezer, Head of Equity Research & Strategy Mandiri Sekuritas menambahkan memang koreksi IHSG belakangan ini disebabkan oleh aksi profit taking yang dibarengi dengan stimulus yang diberikan pemerintah China. Ditambah lagi, pemerintah China memberikan fasilitas tambahan ke bursa sahamnya. Seperti diketahui, PBoC memperkenalan dua instrumen baru untuk meningkatkan likuiditas di pasar sahamnya. Instrumen pertama yang dikeluarkan PBoC senilai 500 miliar yuan. Fasilitas ini memungkinkan perusahaan asuransi dan pialang untuk mendapatkan akses yang lebih mudah untuk membeli saham. Kemudian instrumen yang kedua, PBoC menyediakan dana 300 miliar yuan dalam bentuk pinjaman murah kepada bank-bank komersial sebagai pendanaan untuk membeli saham atau menggelar program buyback. "Reaksi pasar masih cenderung mixed. Pelaku pasar perlu memantau beberapa hal, apakah stimulus ini akan berubah menjadi stimulus fiskal, karena yang diperlukan adalah lebih ke arah fiskal," ucap Joezer. Sentimen positif Direktur Infovesta Utama Edbert Suryajaya mengatakan adanya stimulus China seharusnya memberikan dampak positif kepada pasar saham Indonesia. Kalau aktivitas ekonomi di China tumbuh, maka akan menguntungkan emiten-emiten yang berorientasi ekspor. Menurutnya, kalau stimulus yang diberikan oleh PBoC mampu mengangkat ekonomi China, malahan secara fundamental akan menguntungkan Indonesia. Ebert bilang kalau ada koreksi di pasar saham Indonesia, maka ini kesempatan bagi investor. "Profit taking di IHSG hanya sementara dan bisa dijadikan momentum investor lokal untuk mengakumulasi saham-saham di harga rendah, apalagi akan ada musim dividen interim," jelas Edbert.
Baca Juga: Penutupan Pasar Global: Stimulus Ekonomi China Dorong Asia, Sementara Pasar AS Dingin Dari Edbert, investor bisa mencermati saham-saham dari sektor konsumer dan komoditas terutama batubara dan CPO. Kemudian koreksi pada saham-saham perbankan yang blue chip juga bisa dimanfaatkan untuk akumulasi. Cheril menimpali sentimen positif dari stimulus pemerintah China dapat mendorong kenaikan harga komoditas logam, seperti emas, nikel dan timah. Ini secar tidak langsung dalam menguntungkan emiten ekspor yang bergelut di sektor tersebut.
"Saat ini, saham yang menarik yaitu emiten berbasis emas. Lalu sektor terkait pelonggaran suku bunga seperti properti dan teknologi," kara Cheril.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat