China loyo, harga tembaga merosot



JAKARTA. Pamor tembaga semakin kusam di tengah kecemasan pelambatan ekonomi Tiongkok. Di sisi lain, pasar juga mulai mencermati spekulasi kenaikan suku bunga The Fed di tahun ini.

Mengutip Bloomberg, Selasa (12/1), harga tembaga untuk pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange naik 0,1% menjadi US$ 4.389 per metrik ton.

Kenaikan harga tembaga terjadi setelah logam industri ini terdampar di harga terendah sejak tahun 2009, yakni US$ 4.387 per metrik ton pada awal pekan ini. Dalam sepekan terakhir, tembaga anjlok 5,51%.


Andri Hardianto, pengamat komoditas, menilai, harga tembaga terseret beberapa sentimen negatif. Pertama, data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yakni non-farm employment change pada Desember 2015 naik menjadi 292.000 orang dari sebelumnya 252.000 orang.

Angka itu juga di atas proyeksi analis yang memperkirakan 203.000 orang. Kenaikan data itu memperkuat spekulasi, The Fed akan kembali mengerek bunga pada Maret nanti. Imbasnya, nilai tukar dollar AS naik dan menekan harga tembaga.

"Pelaku pasar semakin yakin dekatnya kenaikan bunga The Fed," papar Andri. Kedua, pelemahan yuan China dan jatuhnya bursa saham negara itu turut menambah kekhawatiran pasar. Maklum, China mengambil porsi 45% total pemakaian tembaga dunia.

Pelaku pasar khawatir penurunan nilai tukar yuan dan kelesuan ekonomi China melemahkan pembelian tembaga. "Kejatuhan yuan membuat komoditas impor makin mahal," lanjut Andri.

Di samping itu, pelaku pasar komoditas khawatir jika Bank Sentral China (PBoC) akan terus melemahkan yuan hingga di atas angka tahun lalu, yang mencapai 4,5%.

Quincy M. Krosby, Ahli Strategi Pasar Prudential Financial Inc, menyatakan, depresiasi yuan akan membuat dollar AS memiliki kekuatan lebih besar, sehingga makin menekan harga komoditas.

Produksi tembaga di 2015 sekitar 342.000 metrik ton, lebih tinggi dari permintaan. Ini menunjukkan berlimpahnya pasokan, paling tinggi sejak tahun 2012. Bank of America memprediksi, kelebihan pasokan terus terjadi, setidaknya hingga dua tahun ke depan.

Meski demikian, masih ada harapan yang dapat mengangkat harga tembaga di jangka pendek, yakni data neraca perdagangan China yang dirilis Rabu (13/1).

"Apabila nilai impor China naik tapi neraca tetap surplus, akan direspons positif pasar," ujar Andri.

Namun prospek jangka panjang, Andri melihat, pasar komoditas logam baik industri maupun logam mulia akan bearish hingga kuartal kedua tahun ini. Faktor melambatnya ekonomi China serta kenaikan bunga The Fed secara bertahap akan membayangi harga komoditas.

Secara teknikal, harga tembaga telah bergerak di bawah moving average (MA) 50, MA100, dan MA200 sehingga mengindikasikan tren pelemahan di jangka menengah maupun jangka panjang.

Namun, indikator stochastic mulai berada di area netral dengan relative strength index (RSI) oversold. Hal ini membuka peluang kenaikan jangka pendek. Sementara moving average convergence divergence (MACD) memperkuat tren bearish lantaran berada di area negatif.

Hari ini (13/1) Andri memprediksikan, harga tembaga menguat di US$ 4.350- US$ 4.440 dan US$ 4.350- US$ 4.480 per metrik ton dalam sepekan ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie