China melambat, bagaimana nasib saham batubara?



JAKARTA. Berbagai sentimen negatif telah menyurutkan kinerja saham-saham batubara belakangan ini. Di tengah masalah perlambatan ekonomi China dan penurunan ekspor, harga saham-saham batubara kian sulit mendaki. Perlambatan China, pengguna batubara terbesar dunia, kini menjadi masalah karena bisa menggerus permintaan tepat di saat persediaan batubara kini berlimpah ruah. Menurut Kepala Riset Indosurya Securities Tonny W Setiadi, problem over supply ini kemungkinan akan berlangsung sampai tahun 2014, dan harga batubara global bisa longsor ke US$ 80 per ton.

"Perlambatan ekonomi pada China tidak lepas dari permasalahan krisis utang yang terjadi di Uni Eropa, karena hubungan perdagangan keduanya sangat erat," ujar Tonny.

Di dalam negeri, kinerja perusahaan batubara pun terseok. Contohnya, PT Bukit Asam (persero) Tbk yang laba bersihnya turun 3% pada semester pertama ini. Namun, Direktru PTBA Milawarman yakin bisa menggenjot kinerjanya di kuartal II nanti. Milawarman mengungkapkan, sebenarnya selain dari pelemahan ekonomi global, kinerja keuangannya surut karena kenaikan ongkos produksi terutama dari transportasi kereta api.


Hal ini diamini Tonny, kendala emiten batubara di semester satu memang masalah cuaca. "Musim hujan atau musim dingin tentu akan menambah biaya pengangkatan batubara dan biaya produksi," urainya. Tapi, ia melihat semester kedua nanti, kinerja keuangan emiten batubara akan membaik seiring kondisi ekonomi Indonesia yang sebenarnya juga masih stabil dan kebutuhan batubara yang masih banyak.

Hanya pas untuk trading

Di tengah masa suram ini, Tonny mengatakan saham-saham batubara belum cocok dikoleksi untuk tujuan menengah panjang. "Saham-saham sektor batubara saat ini bagus untuk sekedar trading," ungkapnya, Kamis (26/7). Namun, ia menyarankan pemodal tetap mengamankan posisinya dnegan bermain di saham-saham bluechips. "Jika pemodal ingin koleksi saham-saham batubara, sebaiknya dipegang untuk jangka pendek dengan lebih mengurangi proporsi di portofolionya," jelas Tonny. Tony mencermati saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dan PT Harum Energy Tbk HRUM. Menurutnya, untuk jangka menengah, secara teknikal saham ini masih di bawah Moving Average (MA) 200 yang mengindikasikan tren bearish. ITMG sudah lama berada di level Rp 34.000-Rp 35.000 dan gerakannya flat. "Jika level tersebut tembus dalam jangka pendek, maka resistance terdekat ITMG di Rp 46.800," lanjut Tony. Sedangkan untuk kinerja fundamental, Tony memprediksi pendapatan ITMG bisa naik 18% di tahun ini. Sementara Analis Universal Broker Indonesia, Alwy Assegaf merekomendasikan saham PT Bukit Asam (Persero) Tbk untuk menjadi pilihan jangka pendek. "Pada kondisi global yang melemah, sebaiknya trader cari aman ambil posisi untuk saham-saham BUMN," tambah Alwy, Kamis (26/7). Untuk jangka pendek, ia melihat saham PTBA berpotensi rebound ke level Rp 18.500 jika melewati resistance di Rp 16.450. "Hanya saja, jika malah tertahan di level Rp 16.450, maka akan condong bearish," ulasnya. Tapi untuk jangka panjang, Alwy melihat PTBA akan mengalami tren turun. Analis e-trading Securities, Budi Wibowo juga menegaskan bahwa saham-saham komoditas saat ini lebih bagus untuk trading. Untuk saham HRUM, Budi merekomendasikan strategi buy on support (beli saat harga murah) yaitu di Rp 5.600. "Karena jangka pendek bisa ke 6.300," kata Budi. Namun jika setelah 5.600 harga semakin turun, bahkan ke level 5.100 di pertengahan Juni lalu, Budi menyarankan trader jual cut loss (memotong rugi). Direktur Utama PTBA Milawarman menambahkan memang saat ini banyak kendala yang dihadapi perusahaannya, terutama mengenai ancaman perlambatan ekonomi Global. "Saat ini Indonesia sedang oversupply dan China sendiri menghemat pengeluaran dengan mengoptimalkan produksi batubara dalam negerinya," jelas Milawarman. Dia bilang, walaupun pada semester pertama laba bersihnya turun 3%. Namun Milawarman yakin bisa menggenjot kinerjanya di kuartal II nanti. Milawarman mengungkapkan, sebenarnya selain dari pelemahan ekonomi global, kinerja keuangannya sempat seurut karena naiknya ongkos produksi terutama dari ongkos transportasi kereta api.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: