WASHINGTON. International Monetary Fund alias IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. Revisi proyeksi pertumbuhan tersebut dilakukan IMF untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Hal ini dipicu oleh perlambatan ekonomi China. IMF memprediksi, pertumbuhan ekonomi dunia hanya akan tumbuh mencapai 3,4% pada akhir tahun ini dan sebesar 3,6% pada tahun 2017 mendatang. Proyeksi ini turun 0,2% dibandingkan dengan proyeksi IMF sebelumnya pada Oktober 2015 lalu. Laporan World Economic Outlook terbaru, seperti dilansir Reuters mengemukakan, perlambatan tajam ekonomi China menjadi alasan kuat IMF untuk menurunkan proyeksinya. Ditambah lagi, melemahnya harga komoditas yang dialami negara-negara berkembang, seperti Brasil. Dampak lebih lanjut dari pelemahan harga komoditas yang dialami Brasil bahkan diperkirakan akan menekan pertumbuhan ekonomi negara itu hingga negatif 3,5% pada akhir tahun dan nol persen pada tahun 2017 mendatang. Pemerintah China melaporkan, pertumbuhan ekonominya mencapai 6,9% di sepanjang tahun lalu. Pencapaian ini merupakan yang terendah dalam 25 tahun terakhir yang didorong beberapa faktor, seperti arus modal keluar yang sangat besar, tekanan pada mata uang yuan dan runtuhnya pasar saham negara dengan perekonomian kedua terbesar dunia tersebut. Kondisi ini mengerek harga saham di Eropa dan Asia, bahkan dollar semakin perkasa setelah data China dirilis. Kendati demikian, IMF tidak menurunkan proyeksi bagi China. Pertumbuhan ekonomi China diproyeksikan sebesar 6,3% pada akhir tahun nanti dan berkisar 6% pada tahun depan. "Kami tidak melihat perubahan fundamental yang besar di China jika dibandingkan dengan apa yang kami lihat enam bulan lalu. Namun, pasar tentunya khawatir dengan peristiwa kecil yang terjadi di sana yang memang sulit ditafsirkan," ujar Maurice Obstfeld, Konselor Ekonomi IMF. Reaksi berlebihan Maurice menambahkan, pasar keuangan global bereaksi berlebihan terhadap penurunan harga minyak dunia dan risiko penurunan tajam di China. Memang jelas, China telah mengatur strategi perbaikan ekonominya, termasuk mengurangi tekanan pada mata uangnya. "Harga minyak saat ini memberi tekanan pada eksportir minyak, tetapi ada hikmahnya bagi seluruh konsumen di dunia. Jadi, tidak melulu berarti negatif," imbuh dia sembari menyebutkan, pergolakan pasar yang terjadi akan mendorong depresiasai mata uang negara berkembang. Di sisi lain, sambung Obstfeld, risiko lain yang mungkin muncul adalah penguatan nilai mata uang negeri Paman Sam dan eskalasi ketegangan politik. Morgan Stanley, bank investasi yang berbasis di AS menuturkan, skenario terburuk yang mungkin terjadi adalah kemungkinan resesi global tahun ini setinggi 20%. Dalilnya, permintaan konsumen masih rendah di Amerika Serikat dan Jepang, serta beberapa pasar negara-negara berkembang. Lebih lanjut IMF memprediksi, beberapa negara yang memiliki percepatan pertumbuhan ekonomi, yakni Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, seperti Inggris. Ekonomi AS diprediksi sebesar 2,6% pada tahun ini dan tahun depan. Pertumbuhan ekonomi AS ini didorong oleh penguatan nilai mata uang dollar. Sementara itu, di Eropa, harga minyak yang lebih rendah akan membantu meningkatkan konsumsi sektor swasta. Sehingga, proyeksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa bertambah 0,1% menjadi 1,7% pada tahun ini dan akan tetap bertumbuh di tahun depan. Obstfeld menegaskan, IMF akan terus mendorong kebijakan moneter untuk mendorong beberapa negara untuk ekspansi. Seperti, Jepang dan Eropa. "Dimana ada ruang fiskal, belanja infrastruktur tentu sesuatu yang harus ada di atas meja," pungkasnya.
China melambat, IMF pangkas proyeksi pertumbuhan
WASHINGTON. International Monetary Fund alias IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. Revisi proyeksi pertumbuhan tersebut dilakukan IMF untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Hal ini dipicu oleh perlambatan ekonomi China. IMF memprediksi, pertumbuhan ekonomi dunia hanya akan tumbuh mencapai 3,4% pada akhir tahun ini dan sebesar 3,6% pada tahun 2017 mendatang. Proyeksi ini turun 0,2% dibandingkan dengan proyeksi IMF sebelumnya pada Oktober 2015 lalu. Laporan World Economic Outlook terbaru, seperti dilansir Reuters mengemukakan, perlambatan tajam ekonomi China menjadi alasan kuat IMF untuk menurunkan proyeksinya. Ditambah lagi, melemahnya harga komoditas yang dialami negara-negara berkembang, seperti Brasil. Dampak lebih lanjut dari pelemahan harga komoditas yang dialami Brasil bahkan diperkirakan akan menekan pertumbuhan ekonomi negara itu hingga negatif 3,5% pada akhir tahun dan nol persen pada tahun 2017 mendatang. Pemerintah China melaporkan, pertumbuhan ekonominya mencapai 6,9% di sepanjang tahun lalu. Pencapaian ini merupakan yang terendah dalam 25 tahun terakhir yang didorong beberapa faktor, seperti arus modal keluar yang sangat besar, tekanan pada mata uang yuan dan runtuhnya pasar saham negara dengan perekonomian kedua terbesar dunia tersebut. Kondisi ini mengerek harga saham di Eropa dan Asia, bahkan dollar semakin perkasa setelah data China dirilis. Kendati demikian, IMF tidak menurunkan proyeksi bagi China. Pertumbuhan ekonomi China diproyeksikan sebesar 6,3% pada akhir tahun nanti dan berkisar 6% pada tahun depan. "Kami tidak melihat perubahan fundamental yang besar di China jika dibandingkan dengan apa yang kami lihat enam bulan lalu. Namun, pasar tentunya khawatir dengan peristiwa kecil yang terjadi di sana yang memang sulit ditafsirkan," ujar Maurice Obstfeld, Konselor Ekonomi IMF. Reaksi berlebihan Maurice menambahkan, pasar keuangan global bereaksi berlebihan terhadap penurunan harga minyak dunia dan risiko penurunan tajam di China. Memang jelas, China telah mengatur strategi perbaikan ekonominya, termasuk mengurangi tekanan pada mata uangnya. "Harga minyak saat ini memberi tekanan pada eksportir minyak, tetapi ada hikmahnya bagi seluruh konsumen di dunia. Jadi, tidak melulu berarti negatif," imbuh dia sembari menyebutkan, pergolakan pasar yang terjadi akan mendorong depresiasai mata uang negara berkembang. Di sisi lain, sambung Obstfeld, risiko lain yang mungkin muncul adalah penguatan nilai mata uang negeri Paman Sam dan eskalasi ketegangan politik. Morgan Stanley, bank investasi yang berbasis di AS menuturkan, skenario terburuk yang mungkin terjadi adalah kemungkinan resesi global tahun ini setinggi 20%. Dalilnya, permintaan konsumen masih rendah di Amerika Serikat dan Jepang, serta beberapa pasar negara-negara berkembang. Lebih lanjut IMF memprediksi, beberapa negara yang memiliki percepatan pertumbuhan ekonomi, yakni Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, seperti Inggris. Ekonomi AS diprediksi sebesar 2,6% pada tahun ini dan tahun depan. Pertumbuhan ekonomi AS ini didorong oleh penguatan nilai mata uang dollar. Sementara itu, di Eropa, harga minyak yang lebih rendah akan membantu meningkatkan konsumsi sektor swasta. Sehingga, proyeksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa bertambah 0,1% menjadi 1,7% pada tahun ini dan akan tetap bertumbuh di tahun depan. Obstfeld menegaskan, IMF akan terus mendorong kebijakan moneter untuk mendorong beberapa negara untuk ekspansi. Seperti, Jepang dan Eropa. "Dimana ada ruang fiskal, belanja infrastruktur tentu sesuatu yang harus ada di atas meja," pungkasnya.