China menjadi penguasa aset perbankan dunia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Populasi yang sangat besar dengan wilayah luas dan kemajuan ekonomi menjadikan China sebagai negara dengan ukuran ekonomi terbesar dunia setelah Amerika Serikat (AS). Geliat ekonomi Sang Naga, tingkat konsumsi tinggi masyarakatnya serta ekspansi korporasi-korporasi China membuat lembaga pembiayaan berkembang pesat.

Bisnis perbankan China tumbuh subur karena permintaan kredit terbilang tinggi. Alhasil, bank asal China menjelma menjadi raksasa bisnis keuangan. Bukan cuma di China saja, namun juga menjulurkan bisnis keuangan ke negara-negara lain.

Tak mengherankan, secara global bank-bank asal Negeri Tembok besar menjadi raja dari sisi aset. Sebagai gambaran, dari 10 bank beraset terbesar sejagat, empat diantaranya bank dari China. Bahkan empat bank itu berurutan menduduki posisi teratas bank dengan aset tergendut dunia.


Peringkat teratas diduduki Industrial & Commercial Bank of China (ICBC) yang per kuartal III 2017 lalu tercatat memiliki aset sebanyak US$ 3,88 triliun. Menyusul China Construction Bank dengan total aset US$ 3,23 triliun, lalu Agricultural Bank of China yang memiliki aset US$ 3,15 triliun, dan Bank of China dengan aset US$ 2,93 triliun (lihat tabel).

Total kopral, aset empat Tiongkok tersebut mencapai US$ 13,19 triliun. Jumlah itu setara 48,61% dari total aset 10 bank terbesar dunia.

Secara domestik, empat bank terbesar dunia tersebut menguasai 35,65% pangsa pasar aset perbankan di China. Merujuk data China Banking Regulatory Commission (CBRC) yang dikutip Xinhua, total aset sektor perbankan China mencapai CNY 244,44 triliun atau sekitar US$ 37 triliun per akhir November 2017. Nilai aset tersebut meningkat 10% dari periode sama 2016.

Ledakan kredit

Bank-bank asal China yang kini memiliki aset terbesar dunia menjadi penanda bahwa pengaruh negara tersebut meningkat di industri keuangan global.

Lonjakan aset itu didorong kenaikan pinjaman bank yang luar biasa sejak tahun 2008 silam, ketika Pemerintah China mengeluarkan stimulus moneter dan fiskal yang agresif untuk menyangga dampak krisis global.

Sejak saat itu permintaan kredit di China meledak. Bukan saja ke perbankan konvensional, juga ke lembaga pembiayaan lain. Dan bahkan sampai memunculkan praktik shadow banking.

Ledakan permintaan kredit juga menimbulkan efek buruk lain yakni tumpukan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) yang kian meningkat. Apalagi, saat ekonomi China melambat seperti sekarang. Dampak lainnya yakni ancaman gelembung atau bubble aset terutama harga properti. Sebab, banyak kredit perbankan mengalir ke sektor ini.

Itu sebabnya, dalam kurun waktu dua tahun terakhir Pemerintah China mengeluarkan kebijakan mengerem pertumbuhan kredit perbankan di China. China juga memberlakukan aturan ketat mengenai aktivitas keuangan yang berisiko. Hal tersebut mengakibatkan perkembangan aktivitas shadow banking di China kian terbatas.

Hasilnya, kredit perbankan di China tetap tumbuh namun tidak sederas tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2017, semisal, total pinjaman baru di China tercatat senilai CNY 13,53 triliun, tumbuh 7% dari penyaluran kredit baru pada tahun 2016.

Di awal tahun ini, kucuran kredit baru perbankan China juga masih menggeliat. Bank Sentral China seperti dikutip Reuters melaporkan, nilai kucuran kredit baru perbankan pada bulan Januari 2018 mencapai CNY 2,9 triliun atau setara US$ 458,3 miliar. Sebagai perbandingan, di periode sama tahun lalu, kucuran kredit baru mencapai CNY 2,51 triliun.

Permintaan kredit pada Januari 2018 tumbuh pesat di segmen rumah tangga dan korporasi, utamanya berupa kredit konsumsi dan kredit investasi. Nie Wen, ekonom Hwabao Trust di Shanghai menyebutkan, investasi swasta, khususnya di bidang manufaktur meroket karena permintaan global yang lebih kuat. "Sedangkan permintaan kredit rumah tangga ditopang pesatnya permintaan properti," ujar Nie Wen seperti dikutip Reuters.

Asosiasi Perbankan China (CBA) dalam laporan tahunan yang dikutip Xinhua memperkirakan sektor perbankan China akan tumbuh mantap selama periode 2017-2018 dengan rasio kredit bermasalah yang lebih rendah. Aset bank komersial China diperkirakan tumbuh 10% per tahun.

Hanya saja, analis menilai, China memiliki masalah yang sangat sulit untuk menyeimbangkan risiko keuangannya, meski mereka memiliki komitmen untuk mengerem tingkat utang. Sebab kontribusi pertumbuhan kredit terhadap pertumbuhan ekonomi China sangat besar.

"Ini masalah mereka sendiri, terlalu lama membiarkan kredit berkembang," kata Fraser Howie, analis independen kepada CNBC.

Kekhawatiran utama soal kredit tersebut terkait dengan gelontoran pinjaman atau kredit oleh trust maupun shadow banking. Pinjaman tersebut dilakukan di luar sektor perbankan formal.

Editor: Wahyu T.Rahmawati