KONTAN.CO.ID - JAKARTA. China berniat memangkas produksi batubara sebanyak 50 juta ton pertengahan tahun ini. Pengurangan rencana produksi itu diambil Pemerintah China di 32 lokasi tambang batubara setelah kecelakaan maut pada Februari lalu. Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Desy Israhyanti menilai, pemangkasan produksi batubara menjadi sentimen positif bagi naiknya permintaan batubara di negeri tirai bambu tersebut. Namun, Desy melihat potensi kenaikannya tidak begitu besar. Sementara itu, potensi berlanjutnya pemangkasan produksi memang masih terbuka menimbang faktor ketidakpastian yang masih tinggi. Sehingga, proyeksi Desy, harga batubara tahun ini ada di kisaran US$ 100 per ton.
Analis CGS CIMB Sekuritas Tom Price menyebut, terdapat sejumlah sentimen yang bisa mendorong harga batubara tahun ini. Diantaranya yakni stimulus dari pemerintah China yang memutuskan untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi pasca-
lockdown dengan menargetkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 5% untuk tahun 2023.
Baca Juga: Bumi Serpong (BSDE) Bukukan Marketing Sales Rp 2,1 Triliun, Cek Rekomendasi Analis Hal ini menstimulasi peningkatan permintaan listrik, dimana sekitar 60% jaringan listrik di China masih berbahan bakar batubara Faktor lainnya yakni menyusutnya total ekspor batubara/gas dari Rusia, dimana ekspor batubara Rusia berkontribusi 5% dari perdagangan global. Meskipun Rusia berupaya mengalihkan ekspor ke mitra dagang yang lebih bersahabat dibandingkan Uni Eropa, ekspor ini dihambat oleh kurangnya infrastruktur seperti rel kereta api, pipa, serta Pelabuhan. Potensi
bullish juga datang dari faktor cuaca, dimana sepanjang tahun 2022, dua eksportir terbesar yakni Australia maupun Indonesia melaporkan kondisi banjir yang tidak sesuai musim. Kondisi ini mengganggu ekspor batubara dunia, yang berkontribusi terhadap 60% dari pasokan batubara lintas laut (
seaborn). Musim panas di belahan bumi bagian utara juga akan meningkatkan pemakaian pendingin ruangan yang akan meningkatkan penggunaan batubara untuk listrik. Desy berpandangan, dengan potensi penurunan produksi di China, peluang emiten berorientasi ekspor untuk menambah pasokannya tentu masih terbuka, seperti PT Adaro Energy Indonesia Tbk (
ADRO) dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (
ITMG). Emiten-emiten ini tercatat melakukan ekspor yang cukup besar ke China. ADRO misalnya, dimana China merupakan tujuan ekspor terbesar pada kuartal pertama 2023 yakni sebesar 19% dari total penjualan ADRO. Sementara jumlah penjualan ITMG ke China per kuartal pertama 2023 senilai US$ 176,96 juta atau setara 25,81% dari total pendapatan ITMG. Hanya saja hal ini akan bergantung jenis batubara yang diperlukan. Untuk batubara Australia memang lebih ke batubara metalurgi yang masuk dalam kelompok mineral, sehingga potensi persaingan memang agak kecil sebab di dalam negeri sendiri yang memasok batubara metalurgi masih terbatas produsennya,” terang Desy kepada Kontan.co.id, Minggu (14/5). Baca Juga:
Kinerja Wika Gedung (WEGE) Naik pada Kuartal I, Begini Rekomendasi Sahamnya Menurut Desy, prospek kinerja emiten batubara tahun ini cenderung menantang, melihat sejumlah sentimen seperti normalisasi harga komoditas, penurunan permintaan batubara, imbas perlambatan ekonomi global, hingga tren pemangkasan produksi sejumlah emiten. Kenaikan tarif royalti yang meningkatkan beban produksi emiten serta potensi resesi juga menekan kinerja emiten tambang.
“Meski demikian, musim pembagian dividen jumbo emiten batubara masih menjadi sentimen positif bagi emiten batubara dalam negeri,” kata Desy. Dia merekomendasikan
buy untuk saham ADRO dengan target harga Rp 3.500.
Editor: Tendi Mahadi