China Tolak Tandatangan Perjanjian yang Melarang AI Mengendalikan Senjata Nuklir



KONTAN.CO.ID - Sebuah pertemuan puncak global tentang AI di ranah militer menyepakati satu hal penting pada Selasa (10/9/2024), dalam sebuah deklarasi yang tidak mengikat.

Mengutip Fortune.com, kesepakatan yang dimaksud adalah manusia, bukan kecerdasan buatan, yang harus membuat keputusan penting tentang penggunaan senjata nuklir

Para pejabat di pertemuan puncak Responsible AI in the Military Domain (REAIM) di Seoul, yang melibatkan hampir 100 negara termasuk Amerika Serikat, China, dan Ukraina, mengadopsi "Cetak Biru untuk Aksi" setelah dua hari perundingan.


Perjanjian tersebut tidak mengikat secara hukum dan tidak ditandatangani oleh China.

Perjanjian itu mengatakan bahwa sangat penting untuk mempertahankan kendali dan keterlibatan manusia untuk semua tindakan yang berkaitan dengan penggunaan senjata nuklir.

Ditambahkan pula bahwa kemampuan AI di ranah militer harus diterapkan sesuai dengan hukum nasional dan internasional yang berlaku.

"Penerapan AI harus etis dan berpusat pada manusia," demikian bunyi kesepakatan itu.

Kedutaan Besar China di Seoul tidak segera menanggapi permintaan komentar yang dilayangkan Fortune.

Baca Juga: Rusia Bisa Bergabung dengan China Jika Menghadapi Ancaman AS

Secara militer, AI sudah digunakan untuk pengintaian, pengawasan, serta analisis dan di masa mendatang dapat digunakan untuk memilih target secara otonom.

Rusia tidak diundang ke pertemuan puncak tersebut karena invasinya ke Ukraina.

Deklarasi tersebut tidak menguraikan sanksi atau hukuman lain apa yang akan dijatuhkan jika terjadi pelanggaran.

Deklarasi tersebut mengakui bahwa masih ada jalan panjang yang harus ditempuh negara-negara untuk mengimbangi perkembangan AI di ranah militer, dengan mencatat bahwa mereka perlu terlibat dalam diskusi lebih lanjut untuk kebijakan dan prosedur yang jelas.

Baca Juga: Badai PHK Dikabarkan Melanda Samsung Electronics

Pertemuan puncak Seoul, yang diselenggarakan bersama oleh Inggris, Belanda, Singapura, dan Kenya, mengikuti acara pembukaan yang diadakan di Den Haag pada bulan Februari tahun lalu.

Pertemuan tersebut mengklaim pihaknya sebagai platform paling komprehensif dan inklusif untuk AI di ranah militer.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie