JAKARTA. China Investment Corporation (CIC) telah menjadi salah satu pemegang saham PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) melalui kepemilikannya di konsorsium investor Northstar Tambang Persada Ltd (NTP). NTP merupakan pemilik 40,05% saham di DOID. BUMN investasi asal negeri tirai bambu itu berstatus pemegang saham tanpa hak suara
(non-voting shareholding) pada NTP. Dengan demikian komposisi investor di NTP terdiri dari Northstar Equity Partners, perusahaan investasi Texas Pacific Group Capital (TPG), Government of Singapore Investment Coropration (GIC) dan CIC. Terkait transaksi itu, pihak management DOID sangat tertutup. Seketaris Perusahaan DOID Andre Soelistyo ketika dihubungi KONTAN mengatakan, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai aksi tersebut.
"Tanyakan saja kepada Northstar, kita tidak punya kewenangan untuk menjelaskan itu," katanya kemarin yang mengaku berada di Sydney, Australia untuk berlibur. Ia juga mengaku tidak tahu menahu mengenai komposisi kepemilikan saham di NTP. Yang jelas, sambungnya, Northstar Equity Partners tetap memegang hak suara dan menjadi pemegang saham pengendali atas NTP. Sementara Presiden Direktur Northstar Pasific Patrick SugitoWalujo tidak menjawab telepon dan pesan singkat KONTAN. Belum lama ini, TPG dan GIC mengambil alih seluruh kepemilikan saham tanpa hak voting Northstar dari tangan keluarga Widjaya, pemilik grup Sinarmas, serta Ashish Shastry, pemilik lama DOID. Seorang broker asing menilai, langkah CIC masuk ke DOID merupakan antisipasi jika kelak mereka keluar dari PT Bumi Resources tbk (BUMI). Soalnya, setelah masuknya Vallar Plc, BUMI berniat untuk melunasi utangnya ke CIC yang mencapai sekitar US$ 1,8 miliar. Dileep Srivasta,
Director and Corporate Secretary BUMI mengatakan, Desember ini pihaknya akan mencicil pembayaran utang senilai US$ 600 juta dan US$ 1 miliar di tahun 2011. Utang yang akan dilunasi tersebut termasuk pinjaman dari CIC. Sentimen Positif
Managing Research Indosurya Securities Reza Priyambada menilai, masuknya perusahaan investasi miilik Pemerintah China tersebut memberikan sentimen postif bagi DOID. Pasalnya, eksistensi CIC dinilainya bisa membantu perkembangan bisnis DOID ke depan. "Masuknya investor asing baru berarti sumber dana bertambah, sehingga DOID bisa melakukan ekspansi lebih besar, begitu pula dengan masuknya CIC ini," ujarnya. Reza berpendapat CIC masuk ke DOID lantaran kinerja perusahaan ini kinerjanya cukup cemerlang. Selain itu, sebagai salah satu kontraktor pertambangan terbesar, prospek bisnisnya masih cukup cerah. Laporan keuangan DOID di kuartal III 2010 menyebutkan, perseroan mamampu meraih laba bersih Rp 351,92 miliar. Padahal di kuartal yang sama tahun lalu, masih rugi Rp 6,33 miliar. Pada kurun waktu tersebut, pendapatan DOIT melesat 3.213% menjadi Rp 4,19 triliun. Namun, kata Reza, yang musti dicermati adalah beban bunga yang ditanggung DOID masih cukup besar, yaitu sekitar Rp 408,21 miliar. "Itu adalah beban utang BUMA (Bukit Makmur) yang diakuisisi beberapa waktu lalu," kata Reza.
Per September 2010, DOID memiliki utang bank, obligasi dan sewa pembiayaan senilai Rp 6,25 triliun. Dari jumlah itu yang jatuh tempo dalam setahun sekitar Rp 622,96 miliar. Meski utangnya cukup besar, Reza meyakini DOID akan mampu menyeelesaikannya. Selain ditopang oleh pemegang saham yang kuat secara finansial, prospek bisnis batubara masih cukup baik. Untuk saat ini Reza menyarankan investor untuk melakukan trading jangka pendek terhadap saham ini dengan target harga Rp1.480-1.500 per saham. Kemarin, saham DOID naik 2,74% ke Rp 1.500 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie