KONTAN.CO.ID - DW. Aktivis pro demokrasi di Hong Kong mengajak warga menentang rencana pemerintah Beijing mengajukan Undang-undang Keamanan Nasional, Jumat (22/5), yang sekaligus diyakini menjadi akhir bagi konsep “satu negara dua sistem“ di daerah istimewa tersebut. UU Keamanan Nasional antara lain mengatur hukuman bagi tindak subversif terhadap pemerintah pusat dan larangan bekerjasama dengan lembaga asing. Legislasi yang telah disusun sejak 2003 itu selama ini gagal disahkan oleh parlemen Hong Kong karena dihadang rangkaian aksi protes massal kelompok pro-demokrasi. Sebab itu kini pemerintah di Beijing dituduh “melangkahi” otoritas Hong Kong dengan mengajukan UU Keamanan Nasional bagi wilayah kepulauan tersebut lewat sidang tahunan Kongres Rakyat Nasional pada Jumat pekan ini.
"Bagi aktivis Hong Kong, UU tersebut berpotensi membungkam aksi protes lewat “kekerasan dan rasa takut,“ tutur Joshua Wong yang memimpin rangkaian aksi demonstrasi anti-Beijing sejak beberapa tahun lalu. “Ini adalah momen terbaik untuk menghidupkan ulang aksi protes,“ kata seorang mahasiswa Hong Kong kepada Reuters. Legislasi teranyar di Kongres Rakyat Nasional diyakini akan memicu aksi protes besar-besaran, layaknya demonstrasi pro-demokrasi pada 2019 silam yang tercatat sebagai krisis terbesar di Hong Kong sejak reunifikasi dengan China pada 1997. Intervensi Beijing terhadap Demokrasi di Hong Kong Perdana Menteri China Li Keqiang mengatakan Beijing Jumat (22/5), pihaknya akan mengajukan sistem dan mekanisme penegakan hukum “yang sehat“ di Hong Kong dan Macau untuk memastikan pelaksanaan UU Keamanan Nasional. Rancangan Undang-undang itu pada dasarnya memaksa otoritas Hong Kong mengadopsi UU Keamanan Nasional ke dalam UU Dasarnya, demikian dikutip dari Reuters. China mengklaim UU ini akan melindungi “kewenangan yuridis“ pemerintah pusat dan menjamin “otonomi luas“ bagi Hong Kong. "Ketika dibutuhkan, organ keamanan nasional di pemerintah pusat akan mendirikan lembaga terkait“ di Hong Kong, untuk menjaga kemanan nasional, begitu bunyi rancangan tersebut. Pada 2003 pengajuan UU Keamanan Nasional dibatalkan menyusul gelombang aksi demonstrasi massal yang mendorong ratusaan ribu warga turun ke jalan. Aktivis pro-demokrasi mengkhawatirkan UU tersebut akan mengakhiri kebebasan yang selama ini dinikmati Hong Kong. “UU ini pada dasarnya mendeklarasikan secara langsung bahwa kebijakan satu negara dua sistem telah gagal dan tidak lagi berlaku,“ kata Eric Cheung, dosen hukum di Universitas Hong Kong. Akhir bagi Demokrasi di Hong Kong? Selama ini Beijing menilai rangkaian aksi demonstrasi kelompok pro-demokrasi memperlemah otoritas pemerintah Hong Kong. Namun aktivis sebaliknya menuduh China ingin membungkam protes dan mengubur kebebasan. “Beijing berusaha membungkam suara-suara kritis warga Hong Kong dengan kekerasan dan rasa takut,“ tulis Joshua Wong lewat akun Twitter. “Para demonstran sudah tahu, bahwa kami bertindak bukan karena kami kuat, tetapi karena kami tidak punya pilihan lain.“ Sebaliknya Ketua Umum Parlemen Hong kong, Andrew Leung, mengatakan UU Keamanan Nasional “tidak akan menjadi akhir bagi konsep satu negara dua sistem.“ Dia sebaliknya menuduh aksi demonstrasi mencederai negeri. “Jika terus berlanjut, apa yang akan terjadi dengan nasib penduduk, ekonomi dan bisnis?“ pungkasnya. Hal senada diungkapkan PM Li Keqiang. Seperti dilansir South China Morning Post, Li menjamin pemerintahannya “akan mengimplementasikan ‘satu negara dua sistem’ dengan lebih komperhensif dan akurat tahun ini, di mana penduduk Hong Kong memerintah Hong Kong dan warga Macau memerintah Macau, dengan hak otonomi yang tinggi.“ Pemerintah Hong Kong menjelaskan UU Keamanan Nasional akan menghukum mereka yang menuntut kemerdekaan atau memicu tindak kekerasan. Sebagian warga khawatir tuduhan semacam itu akan dengan mudah dilayangkan kepada aksi demonstrasi pro-demokrasi. Peringatan dunia internasional Kabar tentang UU Keamanan Nasional yang diagendakan dalam pertemuan Kongres Rakyat Nasional memicu reaksi keras dari dunia internasional. Pemerintah AS misalnya “mendesak Beijing untuk menghormati komitmen dan kewajibannya seperti tertera dalam Deklarasi Bersama China-Inggris,“ tulis Jurubicara Kemenlu AS, Morgan Ortagus, dalam keterangan pers. Dia mengacu kepada perjanjian yang dibuat kedua negara pada 1984 yang menjamin otonomi penuh bagi Hong Kong hingga setidaknya tahun 2047.
Adapun Jurubicara Kongres AS, Nancy Pelocy, menilai perkembangan terakhir “mengkhawatirkan.” Menuruznya upaya Cina “melangkahi” parlemen Hong Kong menunjukkan “sikap tidak hormat terhadap hukum.” Presiden Donald Trump melontarkan ancaman akan “bereaksi dengan sangat keras,“ jika China meloloskan Undang-undang tersebut. Uni Eropa juga memantau perkembangan di Hong Kong dengan seksama, tulis Virgine Battu-Henriksson, Jurubicara urusan Luar Negeri dan Keamanan di Komisi Eropa. “Debat demokratis di Hong Kong dan penghargaan bagi hak sipil dan kebebasan adalah cara terbaik merawat konsep satu negara dua sistem“, demikian pernyataan jubir Komisi Eropa. Sementara Inggris yang menguasai Hong Kong hingga 1997, memastikan “berkomitmen melindungi otonomi Hong Kong“ dan meminta China agar “menghormati“ status tersebut, tulis Kementerian Luar Negeri di London dalam keterangan persnya.
Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti