KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, mekanisme distribusi benih melalui program upaya khusus perlu dievaluasi. Hal ini dikarenakan program upaya khusus (upsus) ini tak menjawab permasalahan petani. Pasalnya, petani sudah mandiri terkait perbenihan. Peneliti CIPS Imelda Freddy mengatakan, evaluasi ini meliputi kualitas benih, kriteria penerima dan efektivitas dari program tersebut. yang dibutuhkan meliputi kualitas benih, kriteria penerima dan efektivitas program tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan CIPS di Dompu dan Sumenep pada April - Mei lalu, ditemukan bahwa produksi jagung dengan menggunakan benih dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) lebih kecil dibandingkan benih dari produsen benih swasta.
"Padahal petani sudah menggunakan teknik budidaya yang baik. Sering kali benih tidak dalam kondisi baik, berjamur dan lainnya,” ujar Imelda, Selasa (24/7). Imelda pun mengatakan, pendistribusian benih kerap terlambat. Keterlambatan ini bisa merugikan petani karena proses penanaman menjadi terlambat dan hasil yang didapatkan tidak maksimal. Akhirnya, petani lebih memilih untuk membeli benih sendiri. Untuk meningkatkan produksi jagung, pendampingan dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) pun sangat dibutuhkan petani. Idealnya, 1 PPL harus mendampingi 1 desa. Sayangnya, terkadang 1 PPL harus mendampingi beberapa wilayah sekaligus. Imelda pun berpendapat, pemerintah harus merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 3 tahun 2015 dengan menambahkan klasifikasi pasar penerima bantuan UPSUS ke dalam tiga jenis. Masing-masing klasifikasi pasar juga harus mendapatkan perlakuan yang disesuaikan dengan kondisinya. Dia mengatakan, CIPS mengelompokkan pasar jagung dalam tiga kelompok. Pertama adalah pasar jagung kuat, pasar semi kuat, dan pasar lemah. Pada pasar semi kuat, program ini dapat terus dijalankan namun harus disertai dengan adanya evaluasi berkala dan diikuti dengan adanya peningkatan kapasitas untuk petani. Dia mengatakan, di pasar jagung semi kuat ini, petani memiliki potensi dan kemampuan untuk menanam jagung, namun masih membutuhkan peningkatan kapasitas untuk teknik budidaya. Sementara itu bagi pasar lemah, penerapan ini sebaiknya tidak diberlakukan. Pemerintah daerah sebaiknya menganalisis potensi pasar dulu untuk mengetahui apakah komoditas jagung bisa berkembang atau tidak di daerah tersebut. Upsus ini sebaiknya dihentikan di pasar jagung kuat agar petani jagung menjadi lebih mandiri dan lebih berkembang karena adanya keterlibatan sektor swasta.
Tak hanya itu, CIPS pun merekomendasikan supaya pemerintah merevisi panduan teknis budidaya jagung agar alokasi distribusi tidak didasarkan pada kuota produsen. Imelda bilang, Kementerian Pertanian saat ini menetapkan alokasi distribusi benih adalah 65% untuk benih produksi pemerintah yakni dari Balitbangtan dan produsen lain yang sudah mendapatkan lisensi Balitbangtan dan 35% untuk benih produksi perusahaan swasta. Pemerintah juga harus membuat mekanisme permintaan varietas benih agar benih yang dibagikan sesuai dengan kebutuhan petani. Dengan adanya mekanisme ini, lanjut Imelda, diharapkan ada kerja sama dengan pihak swasta sebagai penyedia benih. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto