CISDI: Penyesuaian Layanan Selama Pandemi Menurunkan Cakupan Deteksi TB dan Imunisasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyampaikan, lebih dari 80% Puskesmas melakukan penyesuaian layanan selama pandemi. Penyesuaian tersebut berdampak terhadap penurunan cakupan esensial rutin, seperti deteksi dan pengobatan tuberkulosis serta imunisasi dasar anak. 

Hal tersebut diperoleh berdasarkan hasil studi yang dilakukan dengan melakukan survei terhadap 385 puskesmas di 34 provinsi di Indonesia selama periode Agustus hingga November 2022 serta dilengkapi wawancara dengan 21 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan perwakilan masyarakat.

“Survei kami menunjukkan lebih dari 80% puskesmas menyesuaikan layanan selama pandemi," papar Olivia Herlinda, Chief of Policy and Research CISDI dalam keterangan tertulis, Selasa (18/7).


Baca Juga: Kemkes Transformasi Layanan Kesehatan Primer

Dalam Laporan Studi Gambaran Kebutuhan dan Kesiapan Puskesmas di Indonesia dalam Menghadapi Pandemi Covid-19, CISDI menemukan beberapa catatan. Pertama, selama Covid-19 pada 2020 hingga 2022, sebanyak 91,57% puskesmas di Indonesia menyatakan pegawai mereka pernah terkonfirmasi positif Covid-19. 

Kondisi tersebut menyebabkan berkurangnya jumlah tenaga kesehatan yang memberikan layanan di puskesmas.

Pasalnya, infeksi pada tenaga kesehatan dapat menyebabkan penghentian hingga penundaan pelayanan kesehatan esensial, peningkatan risiko infeksi di fasilitas kesehatan antar-tenaga kesehatan ataupun pasien, dan penurunan kualitas layanan kesehatan primer. 

Di sisi lain, sebagai upaya perlindungan, prioritas vaksinasi dosis I, II, dan III telah diterima sebagian besar petugas kesehatan di 90% puskesmas.

“Sementara, vaksinasi dosis IV baru dilaksanakan 16,24% puskesmas per periode pengambilan data,” kata Olivia.

Baca Juga: Kemenkes akan Revitalisasi Posyandu, Puskesmas, dan Labkesmas, Ini Tujuannya

Kedua, selama periode kenaikan infeksi pandemi Covid-19 pada 2020-2021, puskesmas melakukan penyesuaian layanan dengan mengurangi jam kerja layanan sebesar 35,97% dan jenis layanan 33,94%. 

Sebanyak 26,28% puskesmas juga menyesuaikan alur dan prosedur standar pelayanan, seperti penerapan protokol kesehatan, penggunaan alat pelindung diri (APD), dan skrining awal pada pasien.

“Penyesuaian ini berdampak pada penurunan target cakupan layanan kesehatan rutin puskesmas karena adanya pembatasan program dan metode,” ungkap Olivia.

Baca Juga: Menkes & Menlu Australia Kunjungi Puskesmas Setiabudi, Lihat Layanan Imunisasi & ASIK

Ketiga, keterlambatan stok vaksin yakni 22,69% dan keterbatasan sumber daya pemberi vaksin sebesar 6,29% di puskesmas menjadi kendala pemberian vaksinasi dari sisi pemberi layanan puskesmas. Adapun, dari sisi penerima layanan, tantangan terbesar puskesmas adalah penolakan dari peserta vaksin yaitu 70,70%. 

“Kemampuan vaksinasi yang dilaksanakan masih bergantung pada stok vaksin yang diterima puskesmas dari pemerintah daerah. Isu vaksin lainnya adalah tidak tersedianya merek tertentu untuk dosis lanjutan, stok vaksin mendekati kedaluwarsa, hingga merek vaksin berlebih di lokasi tertentu,” kata Olivia.

Dia menjelaskan, kapasitas respon Covid-19 juga belum optimal di awal pandemi Covid-19 2020-2021 karena keterbatasan laboratorium mengeluarkan hasil tes PCR kurang dari 24 jam, terbatasnya tenaga kesehatan terlatih mengetes masif, serta menelusur kontak dan memantau pasien terkonfirmasi positif yang melakukan isolasi mandiri.

Baca Juga: Mengapa Mandatory Spending Kesehatan Dicoret di RUU Kesehatan?

Namun, pada 2022, seiring penurunan ­kasus Covid-19, respons pandemi masih perlu diperhatikan. Kapasitas vaksinasi maksimal per minggu yang pernah dilakukan lebih dari setengah puskesmas atau 55,16% mencapai lebih dari 500 dosis pada bulan Januari-Juni 2022. 

Sedangkan, kebanyakan puskesmas melakukan vaksinasi di bawah 500 dosis per minggunya pada Januari-Juni 2022 karena turunnya minat masyarakat, dan isu logistik lainnya.

Sementara itu, kapasitas pengetesan, penelusuran kontak erat, dan isolasi mandiri mengalami penurunan di 2022 karena ada pemahaman ambang kritis gelombang Omicron lebih rendah dibanding Delta dan terbatasnya tenaga kesehatan (nakes) melaksanakan 3T.

Di sisi lain, Dinas Kesehatan setempat dan pemerintah daerah memberikan dukungan puskesmas terbanyak melalui logistik, namun dukungan pelatihan, supervisi dan penambahan jumlah SDM puskesmas belum memadai untuk puskesmas. Meski begitu, anggaran Covid-19 2022 mengalami penurunan menjadi 5-20% dari total anggaran karena kasus Covid-19 dianggap menurun. 

CISDI mendorong pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi profesi, hingga pemangku kepentingan terkait yang lain untuk menguatkan peran puskesmas. Khususnya ketika menghadapi situasi pandemi seperti Covid-19 kembali melanda. Terutama dengan menguatkan komitmen pembiayaan, kebijakan, dan sumber daya manusia kesehatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati