KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terus bergulir. Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, saat ini memang waktu yang tepat untuk membahas reformasi Undang-Undang (UU) Perpajakan. “Ini ada momentum, peluang reformasi perpajakan kali ini adalah sebuah kesempatan yang tak boleh dilewatkan,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (25/8).
Baca Juga: Sri Mulyani dorong seluruh kalangan masyarakat taat bayar pajak Fajry juga mengatakan, adanya reformasi perpajakan ini bisa memberikan angin segar bagi para pelaku usaha, terutama para pelaku usaha yang selama ini patuh. Hal ini akan membuat sistem perpajakan Indonesia menjadi lebih adil. Contohnya, dengan adanya penerapan pajak minimum atau
alternative minimum tax (AMT), bisa membuat penghindaran pajak akan semakin sulit. Masyarakat pun bisa mengecap manis buah reformasi perpajakan ini. Pasalnya, dengan adanya reformasi perpajakan akan meningkatkan penerimaan negara, sehingga, pengeluaran pemerintah untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan oleh rakyat banyak bisa lebih besar. Hanya saja, Fajry menilai memang dalam reformasi Perpajakan ini akan ada kenaikan biaya kepatuhan (
compliance cost) maupun biaya administrasi (
cost administration). Namun, Fajry memandang tak masalah, karena ada poin penguatan institusi. “Selain itu, untuk meringankan
compliance cost juga bisa diatasi dengan memberikan kemudahan administrasi berupa pemberlakuan metode yang lebih simpel (
simplified method),” tambahnya.
Baca Juga: Menkeu: Target penerimaan perpajakan tahun 2022 disusun dengan cermat dan rasional Lebih lanjut, Fajry menyarankan implementasi peraturan perpajakan yang anyar nantinya harus fleksibel. Mengingat, pandemi Covid-19 masih memberikan ketdiakpastian yang tinggi. Sehingga, ada beberapa kebijakan yang bisa disesuaikan dengan keadaan. Misalnya, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), harus menimbang kondisi perekonomian. Dengan melihat situasi perekonomian terkini akibat pandemi, ia menilai peningkatan tarif PPN masih akan sulit dilakukan di tahun depan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto