JAKARTA. Riset ekonomi makro Citi Asia Pacific menilai belum jelas berapa persen dari dana senilai US$ 31,5 miliar yang berpotensi masuk ke pasar valas dalam negeri pascaterbitnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang kebijakan lalu lintas devisa. "Kebijakan tersebut bisa berdampak atau tidak berdampak signifikan terhadap keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar uang. Ini karena tidak adanya keharusan melakukan konversi ke mata uang lokal," papar Ekonom Citi Helmi Arman, Senin (12/9). PBI yang bakal diluncurkan pada akhir bulan ini nantinya mewajibkan eksportir menyimpan hasil ekspornya dalam sistem keuangan dalam negeri. Namun, tidak diharuskan untuk dikonversi ke rupiah. Penerapan aturan ini diharapkan bisa menghilangkan peluang memasukkan dokumen ekspor lebih dari nilai sebenarnya (over invoicing). Namun, sebaliknya menurut Helmi belum jelas apakah sistem baru nanti bisa mencegah atau mendeteksi under invoicing (di bawah nilai sebenarnya). Hal ini bisa saja dilakukan oleh eksportir yang mencari celah untuk mengurangi nilai repatriasi dari barang ekspornya. Citi beranggapan dampak peraturan baru ini kemungkinan akan menguntungkan suku bunga antar bank dalam negeri dan rupiah. "Tetapi, seberapa besar jangkauannya masih belum jelas," tulis Helmi dalam risetnya. Lebih lanjut, eksportir kemungkinan juga akan bebas mengirim uang ekspornya lagi ke luar negeri. Misalnya, membayar supplier di luar negeri agar bisnis tetap berjalan lancar."Oleh karena itu, masih belum jelas berapa banyak dari US$ 31,5 miliar, dengan asumsi estimasi tersebut akurat, yang bakal tetap tinggal di dalam negeri setelah repatriasi," kata Helmi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Citi: Belum kelihatan potensi masuknya valas dari repatriasi
JAKARTA. Riset ekonomi makro Citi Asia Pacific menilai belum jelas berapa persen dari dana senilai US$ 31,5 miliar yang berpotensi masuk ke pasar valas dalam negeri pascaterbitnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang kebijakan lalu lintas devisa. "Kebijakan tersebut bisa berdampak atau tidak berdampak signifikan terhadap keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar uang. Ini karena tidak adanya keharusan melakukan konversi ke mata uang lokal," papar Ekonom Citi Helmi Arman, Senin (12/9). PBI yang bakal diluncurkan pada akhir bulan ini nantinya mewajibkan eksportir menyimpan hasil ekspornya dalam sistem keuangan dalam negeri. Namun, tidak diharuskan untuk dikonversi ke rupiah. Penerapan aturan ini diharapkan bisa menghilangkan peluang memasukkan dokumen ekspor lebih dari nilai sebenarnya (over invoicing). Namun, sebaliknya menurut Helmi belum jelas apakah sistem baru nanti bisa mencegah atau mendeteksi under invoicing (di bawah nilai sebenarnya). Hal ini bisa saja dilakukan oleh eksportir yang mencari celah untuk mengurangi nilai repatriasi dari barang ekspornya. Citi beranggapan dampak peraturan baru ini kemungkinan akan menguntungkan suku bunga antar bank dalam negeri dan rupiah. "Tetapi, seberapa besar jangkauannya masih belum jelas," tulis Helmi dalam risetnya. Lebih lanjut, eksportir kemungkinan juga akan bebas mengirim uang ekspornya lagi ke luar negeri. Misalnya, membayar supplier di luar negeri agar bisnis tetap berjalan lancar."Oleh karena itu, masih belum jelas berapa banyak dari US$ 31,5 miliar, dengan asumsi estimasi tersebut akurat, yang bakal tetap tinggal di dalam negeri setelah repatriasi," kata Helmi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News