Commercial Paper diharapkan bisa tekan bunga bank



KONTAN.CO.ID - Bank Indonesia (BI) terus mendorong penurunan bunga kredit perbankan untuk memberikan stimulus ke pertumbuhan ekonomi. Setelah BI menggunting suku bunga 7-Day Reverse Repo Rate (7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 4,50% pada awal bulan lalu, kini bank sentral mengeluarkan peraturan baru terkait penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial (Commercial Paper/CP).

Beleid ini diterbitkan untuk memperdalam pasar keuangan dengan menambah instrumen utang dengan menawarkan alternatif pendanaan bagi dunia usaha. Kepala Departemen Pengembangan Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah mengatakan, dengan semakin banyaknya instrumen utang di pasar keuangan, kredit bank akan menjadi lebih kompetitif. "Secara bertahap kami lihat, bunga kredit modal kerja juga bisa turun karena banyaknya sumber pembiayaan," kata Nanang, Senin (11/9).

Hingga saat ini, suku bunga kredit bank masih jauh dari ekspektasi. Hingga Juni 2017, suku bunga kredit bank rata-rata 11,83%. Kehadiran CP diharapkan dapat menekan bunga bank meski harus mengeluarkan biaya seperti biaya pemeringkatan dan penatausahaan. Selisih bisa mencapai 100 basis poin atau satu persen lebih rendah dibanding biaya bunga bank, katanya.


Ada tiga hal fitur yang membedakan aturan Surat Berharga Komersial (SBK) saat ini dengan sebelumnya. Pertama, SBK dicatat secara elektronik, kedua, penerbit SBK harus korporasi non-bank dan memiliki peringkat yang ekuivalen layak investasi untuk menjamin tata kelola penerbitan SBK. Ketiga, BI mewajibkan investor melakukan pembelian SBK minimal Rp 500 juta atau US$ 1 juta.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, aturan ini bisa menjadi alternatif bagi perusahaan untuk mendapatkan kucuran likuiditas sehingga cashflow lebih terjaga dalam jangka pendek. Sementara bagi perbankan dan perusahaan asuransi, SBK ini bisa digunakan untuk mengatur kelebihan likuiditas.

Menurutnya, yang perlu dicermati adalah agar tidak terjadi gagal bayar sistemik. "Kuncinya adalah di swasta yang menerbitkan debt to equity harus sehat dan ada hedging," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie