KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Skema copayment atau pembagian risiko dalam asuransi kesehatan dinilai memiliki kelebihan sekaligus kekurangan bagi konsumen. Pengamat Asuransi sekaligus Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (KUPASI) Wahyudin Rahman mengatakan, mekanisme ini dapat membantu mengurangi pemanfaatan layanan kesehatan secara berlebihan (
overutilization). Dengan begitu, klaim lebih terkendali dan premi seharusnya lebih ekonomis. “Misalnya pasien tidak sembarangan berobat hanya karena ditanggung penuh dan klaim lebih terkendali serta seharusnya premi lebih ekonomis,” ujarnya kepada Kontan, Senin (29/92025).
Baca Juga: Aturan Copayment Asuransi 5% Menuai Pro Kontra, Efektivitas Masih Dipertanyakan Namun, ia mengingatkan, tanpa
copayment rasa aman bagi nasabah memang lebih tinggi karena seluruh biaya medis ditanggung penuh perusahaan asuransi. “Konsekuensinya, premi akan lebih tinggi seperti yang terjadi saat ini,” jelasnya. Lebih lanjut, Wahyudin menuturkan skema
copayment dapat mengendalikan perilaku konsumen agar lebih rasional dalam menggunakan klaim. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menjaga keberlanjutan produk dan menstabilkan premi. “Di sisi konsumen, terutama saat sakit berat atau rawat inap dengan biaya tinggi,
copayment justru terasa memberatkan karena pasien tetap harus keluar biaya tambahan,” tuturnya. Seiring dengan aturan baru yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Edaran mengenai
copayment, Wahyudin menekankan pentingnya edukasi yang jelas dan berkelanjutan. “Langkah perusahaan adalah memberikan edukasi yang transparan dan memastikan premi wajar sesuai risiko,” tegasnya. Sebagai informasi, OJK telah menurunkan batas maksimal
copayment atau pembagian risiko dalam produk asuransi kesehatan menjadi 5% dari sebelumnya 10%. Ketentuan ini akan dimuat dalam rancangan peraturan OJK (RPOJK) tentang ekosistem asuransi kesehatan.
Baca Juga: Mengurai Dampak Penurunan Batas Maksimal Skema Copayment Asuransi Aturan baru ini merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran OJK (SEOJK) 7/2025 yang sebelumnya mengatur
co-payment sebesar 10%. Selain itu, istilah copayment kini diganti menjadi
risk sharing. Perubahan istilah tersebut merupakan usulan dari perwakilan konsumen. Perusahaan asuransi wajib menyediakan produk tanpa fitur pembagian risiko. Namun, perusahaan juga diperbolehkan menawarkan produk dengan skema
risk sharing. Selain itu, besaran premi dari kedua jenis produk tersebut harus disampaikan secara transparan kepada calon pemegang polis. Dengan begitu, konsumen bisa mengetahui perbandingan harga antara produk tanpa
risk sharing dan dengan
risk sharing sebelum memutuskan untuk membeli.
Lebih lanjut, terdapat pengecualian terhadap mekanisme
risk sharing. Untuk kondisi darurat akibat kecelakaan dan/atau penyakit kritis yang tercantum dalam polis, biaya akan sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan asuransi tanpa pembagian risiko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News