CORE: Lambatnya Serapan Belanja APBD 2025 Cerminkan Masalah Struktural Fiskal Daerah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lambatnya realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025, dinilai bukan sekadar persoalan teknis akhir tahun, melainkan mencerminkan masalah struktural dalam tata kelola fiskal daerah.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pola belanja daerah yang tertahan hingga menyisakan potensi SiLPA besar di akhir tahun menunjukkan lemahnya perencanaan dan eksekusi anggaran di tingkat pemerintah daerah (Pemda).

“Lambatnya realisasi belanja APBD 2025 merupakan cerminan masalah struktural tata kelola fiskal daerah,” ujar Yusuf kepada Kontan.


Data Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, hingga 20 Desember 2025 realisasi belanja APBD baru mencapai Rp 1.001,93 triliun atau 70,81% dari total pagu APBD 2025 sebesar Rp 1.414,88 triliun. Artinya, masih terdapat sekitar Rp 412,95 triliun anggaran daerah yang belum dibelanjakan menjelang tutup buku.

Di sisi lain, kinerja pendapatan daerah relatif lebih solid. Hingga periode yang sama, pendapatan daerah telah mencapai 82,93% dari target APBD 2025. Penerimaan pembiayaan APBD juga telah 70,09% dari target pagu, jauh lebih tinggi dibandingkan pengeluaran pembiayaan daerah yang baru terealisasi 42,99% dari pagu.

Baca Juga: Belanja Pemda Lambat Jelang Akhir Tahun, SiLPA APBD 2025 Berpotensi Membesar

Berdasarkan perhitungan Kontan dengan mengacu pada data hingga 20 Desember 2025 tersebut, total SiLPA APBD 2025 diperkirakan mencapai sekitar Rp 169,03 triliun.

Menurut Yusuf, terdapat setidaknya empat faktor utama yang menyebabkan belanja daerah terus melambat. 

Pertama, lemahnya proses perencanaan dan penganggaran di hulu. Banyak APBD disahkan terlambat, atau meski disahkan tepat waktu, dokumen turunannya seperti Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), Rencana Umum Pengadaan (RUP), dan dokumen teknis proyek belum siap dieksekusi sejak awal tahun.

“Akibatnya, belanja baru mengejar setoran di semester II,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (21/12/2025)

Faktor kedua, struktur belanja daerah yang sangat bergantung pada belanja modal dan pengadaan barang dan jasa membuat realisasi rentan tersendat. Proses tender, masa sanggah, perubahan spesifikasi, hingga kehati-hatian berlebihan aparatur karena risiko hukum kerap menahan laju belanja.

“Dalam konteks pengetatan pengawasan dan maraknya kasus korupsi, banyak ASN daerah memilih menunda daripada salah langkah,” jelas Yusuf.

Ketiga, faktor politik lokal turut berperan. Siklus pemilihan kepala daerah (pilkada) dan transisi kepemimpinan sering memicu sikap "wait and see”, terutama untuk proyek-proyek besar yang membutuhkan komitmen jangka menengah.

Keempat, membaiknya kapasitas fiskal daerah justru menurunkan urgensi belanja. Pendapatan daerah yang telah terserap di atas 80% serta aliran transfer pusat yang tetap lancar membuat tekanan untuk membelanjakan anggaran secara cepat dan berkualitas menjadi rendah.

“Ini menjelaskan mengapa SiLPA membengkak, padahal kebutuhan pembangunan daerah masih besar,” katanya.

Baca Juga: Surati Semua Pemda, Purbaya Minta Penyerapan Dana APBD Dipercepat

Meski demikian, Yusuf menilai lambatnya belanja daerah tidak hanya sebagai kegagalan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menurutnya, Kemenkeu telah melakukan berbagai upaya, mulai dari perbaikan desain TKD, pemberian insentif fiskal, penyaluran berbasis kinerja, hingga penerapan sanksi penundaan transfer.

“Masalahnya, instrumen Kemenkeu sebagian besar bersifat fiskal dan administratif, sementara hambatan utama belanja daerah berada di ranah tata kelola internal Pemda, kapasitas SDM, dan ekonomi politik lokal,” ujarnya.

Karena itu, Yusuf menilai persoalan ini lebih tepat disebut sebagai keterbatasan daya ungkit kebijakan pusat, bukan kegagalan kebijakan fiskal.

Ke depan, ia mendorong solusi yang lebih struktural dan berani. Pertama, desain transfer ke daerah perlu semakin berbasis outcome, bukan sekadar kepatuhan administratif. Daerah yang secara persisten menumpuk SiLPA besar perlu dikenai disinsentif yang nyata.

Kedua, proses belanja terutama belanja modal perlu disederhanakan dan distandarisasi melalui perluasan penggunaan katalog elektronik, kontrak payung multiyears, serta perencanaan pengadaan yang mengikat sejak awal tahun.

Ketiga, Kemenkeu perlu memperkuat koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan aparat penegak hukum untuk menciptakan ruang aman bagi birokrasi daerah.

“Harus jelas mana diskresi yang sah dan mana yang melanggar, sehingga ‘takut salah’ tidak lagi menjadi alasan menahan belanja,” pungkas Yusuf.

Baca Juga: Realisasi Belanja APBD Melambat, Ekonom Ingatkan Risiko pada Ekonomi Daerah

Selanjutnya: BNI Bersama BUMN Peduli Salurkan Bantuan bagi Warga Terdampak Bencana di Sumatra

Menarik Dibaca: Dana Transaksi Tidak Sesuai? Ini Cara Mudah Atur Selisih Pencairan Dana Merchant

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News