KONTAN.CO.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mematok target partisipasi pilkada serentak 2020 sebesar 77,5%. Kendati target ini sama dengan pilkada sebelumnya (2018, 2017 dan 2015), sebagian pihak mempertanyakannya. Selain karena situasi pandemi Covid-19, tingkat partisipasi Pilkada 2018 (mencapai 73,24%) mengalami penurunan dibandingkan Pilkada 2017 ( 74,2%). Situasi normal saja target tidak tercapai dan bahkan turun, lantas bagaimana dengan situasi sekarang? Kita tentu mengapresiasi target partisipasi Pilkada 2020 yang tidak berubah dengan target sebelumnya karena ini bagian upaya merawat optimisme penyelenggara. Namun kita juga mesti siap-siap untuk kecewa. Pasalnya, tanpa strategi yang tepat, partisipasi pilkada tahun ini berpotensi terjun bebas jauh di bawah capaian Pilkada 2018, 2017 dan bahkan 2015. Mengapa?
Pandemi Covid-19 bukan hanya persoalan kesehatan, namun punya efek terhadap masalah sosial, ekonomi, dan bahkan politik elektoral. Secara psikologis, bagi sekitar 106 juta pemilih di 270 daerah yang hendak menggelar pilkada, di tengah suasana pandemi seperti sekarang ini, maka datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan hak pilih bukanlah hal prioritas. Setiap warga kini sedang berjuang keras untuk tetap bisa survive. Alih-alih memikirkan pilkada, yang mereka pikirkan adalah bagaimana bisa mengisi perut yang telah dikencangkan ikat pinggangnya selama enam bulan terakhir. Selain itu, secara teknis, menyesuaikan penyelenggaraan pilkada dengan protokol kesehatan di tengah pandemi bukan perkara mudah. Bayangkan, pemungutan suara dinilai sukses antara lain ditandai besarnya kerumunan masyarakat di TPS. Tentu lantaran kondisi pandemi, kerumunan justru dilarang sehingga penyelenggara pilkada harus mendesain ulang teknis pelaksanaannya. Selain akan rumit lantaran kita belum punya pengalaman menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi, pelaksanaan pilkada dengan protokol kesehatan juga membutuhkan budget tidak sedikit. Apalagi salah satu cara untuk mengurangi kerumunan, jumlah TPS harus diperbanyak. Artinya, logistik dan petugas pun harus lebih banyak ketimbang pilkada biasanya. Ini belum teknis di lapangan ihwal bagaimana pemilih yang ketika waktu pencoblosan tiba sedangkan ia menjadi pasien positif Covid-19. Apakah yang bersangkutan dibolehkan datang ke TPS dan diberikan tempat khusus yang terpisah dari yang lain, atau didatangi ke rumahnya ketika mereka masih dalam isolasi mandiri. Sebab, jika tidak ada aturan yang jelas dan pasti, mereka yang terpapar Covid-19 berpotensi kehilangan hak pilihnya.
Belajar dari Korea Selatan Memang harus diakui, Indonesia bukan satu-satunya negara yang akan menggelar pemilu di tengah pandemi Covid-19. Data Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) selama kurun waktu 21 Februari hingga 18 Agustus 2020 menyebutkan, setidaknya ada 54 negara dan teritori telah memutuskan untuk menyelenggarakan pemilu nasional atau sub nasional, dan setidaknya ada 18 negara dan teritori yang telah menyelenggarakan pemilu. Dari jumlah itu, setidaknya 12 telah menyelenggarakan pemilu atau referendum nasional. Namun catatannya, mayoritas dari 12 negara yang menggelar pemilu di masa pandemi Covid-19 mengalami problem serius soal partisipasi pemilih. Semuanya menurun. Hanya tiga negara yang mengalami kenaikan partisipasi, yakni Korea Selatan (dari 58,03 % naik jadi 66,21%), Polandia (dari 55,34% jadi 68,18%), dan Singapura (dari 93,70% jadi 95,81%). Indonesia perlu belajar dari kesuksesan Korea Selatan dalam menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi. Sebab, selain berhasil mencetak partisipasi pemilu terbaik sejak 1992, seperti dikatakan Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Kim Chang-Beom (2020), Negeri Ginseng tersebut menjadi satu-satunya negara di dunia yang telah berhasil menyelenggarakan pemilu tanpa satu orang pun terpapar Covid-19. Padahal saat itu sudah ada 10.000 lebih warganya positif Covid-19. Salah satu rahasia kesuksesan Korea Selatan dalam penyelengaraan pemilu legislatif pada 15 April 2020 lalu itu adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara. Artinya, negara melalui penyelengara pemilu mampu memastikan dan meyakinkan kepada publik ketika memberikan hak pilihnya di TPS aman dari penularan Covid-19. Ini penting karena tanpa ada kepastian soal itu, publik cenderung memilih di rumah saja ketimbang datang ke TPS. Karena itu, penyelenggara pilkada perlu penyusun langkah-langkah taktis-strategis supaya gelaran Pilkada 2020 dapat berjalan dengan baik dan target partisipasi dapat tercapaiatau minimal tidak menurun dari capaian sebelumnya. Salah satu caranya ialah dengan menggalakkan sosialisasi. Sosialisasi di sini dapat dibagi dua, yakni sosialisasi terkait pentingnya partisipasi dan sosialisasi terkait kesiapan penyelenggara guna meyakinkan publik. Sosialisasi terkait pentingnya partisipasi ini penting karena selama ini porsi penyelenggara pilkada lebih getol sosialisasi terkait hal teknis ketimbang sosialisasi terkait pentingnya partisipasi. Harusnya, porsi sosialisasi ihwal pentingnya berpartisipasi dalam hajatan demokrasi lebih gencar dilakukan dan diperbesar frekuensinya. Sedangkan terkait sosialisasi kesiapan penyelenggara, perlu disampaikan kepada publik bahwa pilkada di tengah pandemi dapat dipastikan aman dari penyebaran Covid-19. Segala bentuk protokol kesehatan pun sudah disiapkan dengan matang. Di sisi lain, pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 harus bekerja ekstra menekan laju dan mata rantai penyebaran Covid-19. Menurunnya laju penyebaran Covid-19 dapat memupuk kepercayaan masyarakat ketika hendak mencoblos di TPS nanti. Sebab itu, gotong royong dan kesadaran bersama dalam melakukan sosialisasi sangat diperlukan di sini. Termasuk juga peran media dalam ikut serta membantu mengkampanyekan ihwal pentingnya partisipasi dalam hajatan elektoral. Secara esensial, partisipasi dalam pesta demokrasi harus ditempatkan pada posisi yang krusial. Partisipasi bentuk lain dari kedaulatan rakyat. Partisipasi merupakan bentuk perwujudan negara demokrasi. Dimensi penting dari esensi demokrasi ialah partisipasi. Partisipasi mengejawantahkan adagium klasikĀ
vox populi vox deiĀ (suara rakyat adalah suara Tuhan). Melalui partisipasi, publik punya mandat dan legitimasi yang kuat dalam pemerintahan demokrasi. Semakin tinggi partisipasi, maka kian kuat mandat dan legitimasi publik. Sebaliknya, bila partisipasi rendah berimplikasi pada lemahnya mandat dan legitimasi publik.
Karena itulah, partisipasi dalam hajatan elektoral bukan saja menjadi afirmasi penting bagi sukses tidaknya kinerja para penyelenggara, melainkan juga sebagai penanda dari manifestasi aktualisasi kedaulatan rakyat. Penulis : Ali Rif'an Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti