KONTAN.CO.ID - BEIJING. Dalam laporan terbarunya, Komisi Kesehatan Nasional China mengungkapkan, Covid-19 telah berkontribusi dalam menurunkan angka pernikahan dan kelahiran di China. Para ahli demografi juga mengatakan, kebijakan
zero-Covid yang diterapkan Pemerintah China telah memudarkan keinginan warga untuk untuk memiliki anak. "Virus corona juga memiliki dampak yang jelas pada pengaturan pernikahan dan kelahiran beberapa orang," ungkap komisi itu dalam laporannya.
Dilansir dari
Reuters (23/8), banyak wanita yang akhirnya menunda rencana mereka untuk menikah atau memiliki anak karena tingginya biaya pendidikan dan pengasuhan anak selama pandemi.
Baca Juga: Beruntungnya, Orang Kelahiran Tahun Ini Punya Antibodi Melawan Virus Cacar Monyet Angka kelahiran di China tahun ini mencapai rekor terendah. Jumlah kelahiran turun di bawah 10 juta, dibandingkan dengan 10,6 juta di tahun lalu. Ini juga 11,5% lebih rendah dari tahun 2020. Di tahun 2021, China juga mencatat tingkat kesuburan 1,16, salah satu yang terendah di dunia. Angka itu juga di bawah standar 2,1, yang oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dianggap perlu untuk mencapai populasi yang stabil. Penurunan populasi memang menjadi salah satu program Pemerintah China untuk menurunkan kepadatan penduduk. Kebijakan satu anak pun telah diberlakukan dari tahun 1980 hingga 2015.
Baca Juga: Positif Covid-19 Indonesia 22 Agustus Masih Tinggi, Singapura Cabut Wajib Masker Selama periode itu, China mengakui populasinya berada di ambang penyusutan. Namun, kondisi ini justru menimbulkan potensi krisis karena di masa depan negara harus memberikan tunjangan lebih besar untuk perawatan orangtua. Pemerintah China selama setahun terakhir telah mengambil langkah-langkah yang diharapkan bisa menaikkan kembali minat untuk menikah dan memiliki anak. Beberapa program yang telah dijalankan adalah keringanan pajak, cuti hamil yang lebih lama, asuransi kesehatan yang ditingkatkan, subsidi perumahan, serta tunjangan tambahan untuk anak ketiga.