Konflik dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok sepertinya belum akan reda. Ancam-mengancam kenaikan tarif impor masih belum terlihat titik temunya. Hal ini berarti ketidakpastian di pasar global masih akan menghantui sepanjang 2019. Indonesia ternyata menjadi salah satu negara yang terdampak secara tidak langsung dari perang dagang tersebut. Salah satunya adalah pelemahan harga minyak sawit mentah (CPO) global. Pada April 2018, Tiongkok menyatakan akan meningkatkan tarif impor 106 produk AS sebagai balasan dari ancaman serupa yang dilakukan AS sebelumnya. Salah satu barang yang akan mendapat kenaikan tarif adalah kacang kedelai. AS adalah pemasok kedelai terbesar kedua setelah Brasil bagi Tiongkok. Dinaikkannya tarif impor kedelai AS tentu akan membuat kedelai AS tidak kompetitif di pasar Tiongkok. Pada Juli 2019, Tiongkok mulai mengimplementasikan kenaikan tarif impor untuk produk-produk AS tersebut.
Kebijakan ini berdampak negatif pada impor kedelai Tiongkok yang berasal dari AS. Selama 2018, nilai impor itu menurun 49,3% (yoy) dan berlanjut pada 1Q19 yang tercatat masih menurun 80% (yoy). Penurunan pasar ekspor kedelai AS di Tiongkok menyebabkan stok kedelai AS melimpah di pasar global. Hal ini menjadi salah satu akibat tertekannya harga kedelai global sejak April 2018. Lantas apa dampaknya bagi Indonesia? Kedelai adalah barang substitusi dari CPO, salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. Menurunnya harga kedelai turut menekan harga CPO. Data Bloomberg menunjukkan rata-rata harga CPO selama 2018 hanya US$ 559 per ton atau menurun 13,6% (yoy). Memburuknya hubungan AS dan Tiongkok belakangan ini pun turut menekan kembali harga CPO periode Januari-April 2019, dimana rata-rata hanya US$ 502 per ton atau turun 20,1% (yoy). Rendahnya harga CPO akan menyebabkan penurunan nilai ekspor Indonesia yang berefek pada melebarnya defisit transaksi berjalan. Membesarnya defisit transaksi berjalan memberikan sinyal negatif bagi investor dan dapat mempengaruhi volatilitas rupiah. Harga CPO yang rendah juga akan menekan perekonomian jutaan masyarakat Indonesia yang bergantung pada perkebunan kelapa sawit. Selain itu, rendahnya harga CPO bisa mengganggu keberlangsungan program biodiesel 20% (B20). Pasalnya, untuk memproduksi B20 masih dibutuhkan subsidi yang selama ini berasal dari dana ekspor CPO yang ditarik Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Pada akhir 2018, pemerintah menetapkan tidak akan menarik dana ekspor CPO ketika harga referensinya di bawah US$ 570 per ton. Hal ini berarti sudah lima bulan BPDPKS tak memperoleh pemasukan dana ekspor, sementara subsidi B20 dalam jumlah lebih besar tetap diperlukan, sejalan dengan kenaikan produksi pasca mandatori penggunaan B20. Jika kondisi ini berlanjut, bukan tak mungkin pemerintah harus mencari sumber dana alternatif sebagai subsidi B20 ketika dana kelolaan BPDPKS mulai menipis. Menariknya, permintaan terhadap CPO Indonesia ternyata tidak menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan volume ekspor CPO Indonesia pada 1Q19 masih tumbuh 10,2% (yoy) menjadi 6,9 juta ton di tengah melimpahnya stok kedelai. Data yang lebih rinci bahkan menujukkan volume ekspor CPO Indonesia ke India selama Januari-Februari 2019 masih tumbuh terbatas sebesar 1,5% (yoy), meskipun India mengenakan bea masuk tinggi untuk CPO dan produk turunannya yang berasal dari Indonesia. Ekspor CPO ke Tiongkok dan Malaysia bahkan mampu tumbuh 36,0% (yoy) dan 60,7% (yoy) untuk periode yang sama. Meski CPO mendapat gempuran dari produk pesaingnya, tidak dapat dipungkiri CPO adalah minyak nabati paling efisien. Sangat sulit dan butuh waktu lama untuk benar-benar menggantikan CPO dengan minyak nabati lainnya. Selain itu, biaya penyesuaian yang dibutuhkan akan membuat minyak nabati lainnya semakin tidak ekonomis. Penurunan harga CPO yang terjadi belakangan ini lebih disebabkan gangguan eksternal yang tidak bersifat fundamental.
Strategi bertahan sebaiknya menjadi pilihan bagi para pengusaha dengan bantuan dukungan pemerintah. Upaya membuka pasar domestik baru melalui program B20 mampu memperkuat permintaan CPO Indonesia dalam jangka pendek dengan sedikit mengurangi ketergantungan terhadap ekspor. Namun, membuka pasar ekspor baru juga perlu dilakukan mengingat gencarnya kampanye negatif Uni Eropa terhadap CPO dan produk turunannya. Kerjasama bilateral maupun multilateral dengan negara berpenduduk besar dengan tradisi menggoreng makanan dapat menjadi alternatif, seperti negara di kawasan Asia Selatan, Timur Tengah maupun Afrika.♦
Andrian Bagus Santoso Analis Industri Bank Mandiri Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi