Credit Suisse pangkas rekomendasi saham, begini pandangan analis



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan sekuritas atau broker terkemuka yang berbasis di Swiss, Credit Suisse belum lama ini memberikan rekomendasi negatif terhadap bursa saham Indonesia. Credit Suisse memangkas rekomendasinya menjadi 10% underweight dari sebelumnya 20% overweight. Pemangkasan tersebut sempat membuat kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun akibat investor melakukan aksi jual.

Namun, Credit Suisse ternyata tidak sepenuhnya mengikuti hasil riset yang dirilis, Selasa (12/2). Berdasarkan data Bloomberg, Credit Suisse ternyata masih rajin melakukan aksi beli terhadap saham-saham lapis satu alias bluechips. Saham-saham tersebut diantaranya PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO).

Walaupun begitu broker asing yang tercatat dengan kode CS ini juga tercatat melepas sejumlah saham antara lain PT Bumi Resources Mineral Tbk (BRMS), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), dan PT Bank Permata Tbk (BNLI). Total net sell yang dicatatkan Credit Suisse sejak pemberian rekomendasi negatif dua pekan lalu adalah Rp 818 miliar.


Analis Panin Sekuritas William Hartanto masih mempertanyakan tujuan Credit Suisse menggunting rekomendasinya jika pada akhirnya masih melakukan aksi beli.

“Tidak bisa disimpulkan, tapi yang jelas ada praktik broker yang bilang downgrade agar bisa beli saham, kemudian meng-upgrade kembali supaya bisa jual dengan harga setinggi-tingginya,” kata dia kepada Kontan.co.id pada Senin (25/2).

William menyarankan investor mengabaikan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan baik itu positif maupun negatif.  “Respons pasar dan valuasi emiten tidak akan bisa berbohong. Jika di lain waktu ada downgrade kembali dan respons pasar tidak menunjukkan kepanikan maka itu peluang, tidak perlu ikut-ikutan karena bisa saja itu hanya profit taking,” kata dia.

Kata William, investor cukup mencari saham mana yang memiliki fundamental bagus. Ia menilai, saat ini investor domestik punya posisi cukup kuat dengan porsi 67% dari jumlah keseluruhan investor di bursa. Cuma sayangnya mereka belum punya pengetahuan yang memadai. “Mereka masih terbiasa menelan informasi begitu saja, hasilnya tentu jadi lebih mudah panik duluan, baik panik net buy maupun net sell,” ujarnya demikian.

Sementara, ekonom Samuel Asset Manegement Lana Soelistianingsih mengatakan rekomendasi Credit Suisse itu tetap perlu diperhatikan pelaku pasar di Tanah Air. “Kadang-kadang apa yang mereka sampaikan itu tidak berlaku sekarang bisa jadi berlakunya nanti semester dua. Jadi tetap harus berhati-hati dan mempelajari hal apa yang mendasari Credit Suisse memberikan penilaian negatif atau memangkas rekomendasinya,” kata dia ketika ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin (25/2).

Yang jelas, Lana bilang, fundamental perekonomian Indonesia saat ini masih bagus. Ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang masih bisa melampaui level 5% pada tahun 2018.

“Kemudian ada aliran modal atau dana asing yang masuk jelang pemilihan umum (pemilu) senilai Rp 39,4 triliun melalui saham, surat berharga negara (SBN) berdasarkan data per 22 Februari 2019 lalu,” kata dia.

Dari global, Lana menilai, tekanan akan jauh menurun di tahun 2019. Sebab, ketidakpastian perekonomian global sudah berkurang lantaran perseteruan antara Amerika Serikat (AS) dan China akibat perang dagang sudah mulai mereda.

Selain itu, tahun ini kebijakan the Federal Reserve (the Fed) cenderung dovish atau tidak seagresif tahun lalu. The Fed diperkirakan akan menahan suku bunga acuannya di level 2,25%-2,5% hingga akhir tahun ini karena adanya kekhawatiran naiknya tingkat pengangguran dan angka inflasi AS.

Tapi bukan berarti Indonesia berada di posisi yang benar-benar aman. Pemerintah tetap harus berhati-hati dan tetap menjaga fundamental ekonomi dalam negeri.

Ia menambahkan, dana asing yang masuk itu bisa saja keluar secara tiba-tiba akibat adanya sentimen tertentu di kemudian hari, “Tahun 2019 belum berakhir, masih ada kemungkinan apapun. Dana asing tersebut kita anggap saja sebagai dana temporer,” ujar ekonom yang juga berprofesi sebagai staff pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat